Scription

Selasa, 14 Februari 2012

Surakarta

Sekian lama berada di kota Surakarta atau Solo rasanya tidak lengkap kalau tidak menikmati keasrian kota ini, kebeteluan saya berada di kota ini saat masih bekerja di salah satu perusahaan percetakan di daerah Kartasura jadi ada kesempatan untuk berwira-wiri dibeberapa obyek pariwisata di kota Surakarta dan sekitarnya.

Surakarta, juga disebut Solo atau Sala, adalah kota yang terletak di provinsi Jawa Tengah, Indonesia yang berpenduduk 503.421 jiwa (2010) dan kepadatan penduduk 13.636/km2. Kota dengan luas 44 km2 ini berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Boyolali di sebelah utara, Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah timur dan barat, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah selatan. Sisi timur kota ini dilewati sungai yang terabadikan dalam salah satu lagu keroncong, Bengawan Solo. Bersama dengan Yogyakarta, Solo merupakan pewaris Kerajaan Mataram yang dipecah pada tahun 1755.

Nama Surakarta digunakan dalam konteks formal, sedangkan nama Solo untuk konteks informal. Akhiran -karta merujuk pada kota, dan kota Surakarta masih memiliki hubungan sejarah yang erat dengan Kartasura. Nama Solo berasal dari nama desa Sala. Ketika Indonesia masih menganut Ejaan Repoeblik, nama kota ini juga ditulis Soerakarta. Nama "Surakarta" diberikan sebagai nama "wisuda" bagi pusat pemerintahan baru ini. Namun, sejumlah catatan lama menyebut bentuk antara "Salakarta".


Keraton surakarta

Eksistensi kota ini dimulai di saat Kesultanan Mataram memindahkan kedudukan raja dari Kartasura ke Desa Sala, di tepi Bengawan Solo. Secara resmi, keraton mulai ditempati tanggal 17 Februari 1745. Akibat perpecahan wilayah kerajaan, di Solo berdiri dua keraton: Kasunanan Surakarta dan Praja Mangkunegaran, menjadikan kota Solo sebagai kota dengan dua administrasi. Kekuasaan politik kedua kerajaan ini dilikuidasi setelah berdirinya Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Selama 10 bulan, Solo berstatus sebagai daerah setingkat provinsi, yang dikenal sebagai Daerah Istimewa Surakarta.

Selanjutnya, karena berkembang gerakan antimonarki di Surakarta serta kerusuhan, penculikan, dan pembunuhan pejabat-pejabat DIS, maka pada tanggal 16 Juni 1945 pemerintah RI membubarkan DIS dan menghilangkan kekuasaan raja-raja Kasunanan dan Mangkunagaran. Status Susuhunan Surakarta dan Adipati Mangkunegara menjadi rakyat biasa di masyarakat dan Keraton diubah menjadi pusat pengembangan seni dan budaya Jawa. Kemudian Solo ditetapkan menjadi tempat kedudukan dari residen, yang membawahi Karesidenan Surakarta (Residentie Soerakarta) dengan luas daerah 5.677 km². Tanggal 16 Juni diperingati sebagai hari jadi Kota Solo era modern.

Setelah Karesidenan Surakarta dihapuskan pada tanggal 4 Juli 1950, Surakarta menjadi kota di bawah administrasi Provinsi Jawa Tengah. Semenjak berlakunya UU Pemerintahan Daerah yang memberikan banyak hak otonomi bagi pemerintahan daerah, Surakarta menjadi daerah berstatus kota otonom.

Arsitektur dan peninggalan bersejarah Kota Surakarta
selain di suguhi pemandangan dan suasana yang cukup ramai di karenakan pembangunan gedung-gedung pusat perbelanjaan dan lainnya, di kota surakarta ini pun masih menyimpan dan mempunyai peninggalan-peninggalan bersejarah selain itu sebagian besar masyarakat kota ini pula masih mempertahankan adat kebudayaan yang menambah daya tarik, berikut adalah beberapa peninggalan bersejarah dari kota Surakarta :

Benteng Vastenburg
Di kota Surakarta terdapat pula bekas peninggalan kolonial Belanda yaitu Benteng Vastenburg yang dulu digunakan sebagai pusat pengawasan kolonial Belanda untuk mengawasi gerak-gerik Keraton Kasunanan, namun sekarang keadaannya tidak terurus, di pusat kota Surakarta di dekat (sejalan dengan) Balaikota Surakarta. Dulu bangunan ini bernama "Grootmoedigheid" dan didirikan oleh Gubernur Jenderal Baron van Imhoff pada tahun 1745. Benteng ini dahulu merupakan benteng pertahanan yang berkaitan dengan rumah Gubernur Belanda. Benteng dikelilingi oleh kompleks bangunan lain yang berfungsi sebagai bangunan rumah tinggal perwira dan asrama perwira. Bangunan benteng ini dikelilingi oleh tembok batu bata setinggi enam meter dengan konstruksi bearing wall serta parit dengan jembatan angkat sebagai penghubung. Setelah kemerdekaan pernah berfungsi sebagai kawasan militer dan asrama bagi Brigade Infanteri 6/Trisakti Baladaya / Kostrad. Bangunan di dalam benteng dipetak-petak untuk rumah tinggal para prajurit dengan keluarganya.

Pasar Gedhe Hardjonagoro
Pada zaman kolonial Belanda, Pasar Gedhe merupakan sebuah pasar "kecil" yang didirikan di area seluas 10.421 meter persegi, berlokasi di persimpangan jalan dari kantor gubernur yang sekarang digunakan sebagai Balaikota Surakarta. Bangunan ini di desain oleh arsitek Belanda bernama Ir. Thomas Karsten yang selesai pembangunannya pada tahun 1930 dan diberi nama Pasar Gede Hardjanagara. Diberi nama Pasar Gedhe karena terdiri dari atap yang besar (Gedhe artinya besar dalam bahasa Jawa). Seiring perkembangan waktu, pasar ini menjadi pasar terbesar dan termegah di Surakarta.
Awalnya pemungutan pajak (retribusi) dilakukan oleh abdi dalem Kraton Surakarta. Mereka mengenakan pakaian tradisional Jawa berupa jubah dari kain (lebar dan panjang dari bahan batik dipakai dari pinggang ke bawah), beskap (semacam kemeja), dan blangkon (topi tradisional). Pungutan pajak kemudian akan diberikan ke Keraton Kasunanan.

Pasar Gedhe terdiri dari dua bangunan yang terpisah, masing masing terdiri dari dua lantai. Pintu gerbang di bangunan utama terlihat seperti atap singgasana yang bertuliskan 'PASAR GEDHE.
Arsitektur Pasar Gedhe merupakan perpaduan antara gaya Belanda dan gaya tradisional. Pada tahun 1947, Pasar Gedhe mengalami kerusakan karena serangan Belanda. Pemerintah Indonesia kemudian merenovasi kembali pada tahun 1949. Perbaikan atap selesai pada tahun 1981. Pemerintah Indonesia mengganti atap yang lama dengan atap dari kayu. Bangunan kedua dari pasar gedhe, digunakan untuk kantor DPU yang sekarang digunakan sebagai pasar buah.

Masjid Agung Surakarta
Pada masa lalu merupakan Masjid Agung Negara. Semua pegawai pada Masjid Agung merupakan abdi dalem Keraton, dengan gelar dari keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin.

Masjid Agung dibangun oleh PB III tahun 1763 dan selesai pada tahun 1768.
Merupakan masjid dengan katagori MASJID JAMI', yaitu masjid yang digunakan untuk sholat lima waktu dan sholat Jum'at. Dengan status MASJID NEGARA/KERAJAAN karena segala keperluan masjid disediakan oleh kerajaan dan masjid juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang diselenggarakan kerajaan.

Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180 m2 yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar keliling setinggi 3,25m. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak mustaka.


Masjid Agung Surakarta

Masjid Agung terdiri dari
•Serambi, mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung.
•Ruang Shollat Utama, mempunyai 4 saka guru dan 12 saka rawa dengan mihrab dengan kelengkapan mimbar sebagai tempat Khotib pada waktu Sholat Jum’at.
•Pawestren, (tempat shollat untuk wanita) dan Balai Musyawarah.
•Tempat berwudhu

Pintu Gerbang Masuk
•Pagar Keliling, dibangun pada masa PB VIII tahun 1858.
•Pagongan, terdapat di kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan sama yaitu berbentuk pendapa yang digunakan untuk tempat Gamelan ketika upacara Sekaten (Upacara Peringatan hari lahir Nabi Muhammad S.A.W.
•Istal dan garasi kereta untuk Raja ketika Shollat Jum’at dan Gerebeg, diperkirakan dibangun bersamaan dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta.
•Gedung PGA Negeri, didirikan atas susunan PB X (1914) dan menjadi milik kraton.
Menara Adzan, mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar di India. Didirikan pada tahun 1928.
•Tugu Jam Istiwak, yaitu jam yang menggunakan patokan posisi matahari untuk menentukan waktu shollat.
•Gedang Selirang, merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi masjid Agung.
Bentuk atap bangunan induk dari Masjid Agung Surokarto ini memiliki corak yang sama dengan bangunan-bangunan suci Islam lainnya, yaitu bentuk atap tajug. Di Jawa, bentuk atap tajug adalah merupakan ciri khas bentuk atap yang digunakan untuk bangunan-bangunan suci, antara lain masjid dan makam.

Keseluruhan atap Masjid Agung Surakarta memiliki empat tingkat. Tiga susunan pertama adalah berupa atap tajug, dan susunan keempat adalah merupakan puncak atau kepala atap, yang pada awalnya seprti telah disinggung didepan, bagian ini dibuat dari bahan emas. Di dalam keIslaman hal tersebut mengandung simbol tingkatan ibadah umat kepada Allah, yaitu:
1. SYARIAT, disimbolkan dengan tingkatan atap tajug yang pertama.
2. TAREKAT, disimbolkan dengan tingkatan atap tajug yang kedua.
3. HAKEKAT, disimbolkan dengan tingkatan atap tajug yang ketiga.
4. MAKRIFAT, disimpulan dengan kepala atap, yang dulunya terbuat dari emas.
Sumber materi: kratonsurakarta.com/surakarta-hadiningrat.blogspot.com

Senin, 13 Februari 2012

Herman Willem Daendels

Pada posting sebelumnya tentang jalur pantura yang di bangun pertama kali oleh Daendels yang membangun Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dari Anyer ke Panarukan pada tahun 1808-an maka tidak ada salahnya untuk postingan kali ini mengenai sosok yang pertama kali membangun Jalan Raya Pos yang sekarang lebih di kenal dengan Jalur Pantura.

Mr. Herman Willem Daendels begitulah nama lengkapnya (lahir di Hattem, 21 Oktober 1762 – meninggal di Ghana, 2 Mei 1818 pada umur 55 tahun), adalah seorang politikus Belanda yang merupakan Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang ke-36. Ia memerintah antara tahun 1808 – 1811. Masa itu Belanda sedang dikuasai oleh Perancis.


Mr. Herman Willem Daendels

Pada tahun 1780 dan 1787 ia ikut para kumpulan pemberontak di Belanda dan kemudian melarikan diri ke Perancis. Di sana ia menyaksikan dari dekat Revolusi Perancis dan lalu menggabungkan diri dengan pasukan Batavia yang republikan. Akhirnya ia mencapai pangkat Jendral dan pada tahun 1795 ia masuk Belanda dan masuk tentara Republik Batavia dengan pangkat Letnan-Jendral. Sebagai kepala kaum Unitaris, ia ikut mengurusi disusunnya Undang-Undang Dasar Belanda yang pertama. Bahkan ia mengintervensi secara militer selama dua kali. Tetapi invasi orang Inggris dan Rusia di provinsi Noord-Holland berakibat buruk baginya. Ia dianggap kurang tanggap dan diserang oleh berbagai pihak. Akhirnya ia kecewa dan mengundurkan diri dari tentara pada tahun 1800. Ia memutuskan pindah ke Heerde, Gelderland.

Pada tahun 1806 ia dipanggil oleh Raja Belanda, Raja Louis (Koning Lodewijk) untuk berbakti kembali di tentara Belanda. Ia ditugasi untuk mempertahankan provinsi Friesland dan Groningen dari serangan Prusia. Lalu setelah sukses, pada tanggal 28 Januari 1807 atas saran Kaisar Napoleon Bonaparte, ia dikirim ke Hindia-Belanda sebagai Gubernur-Jendral.

Maka setelah perjalanan yang panjang melalui Pulau Kanari, Daendels tiba di Batavia pada tanggal 5 Januari 1808 dan menggantikan Gubernur-Jendral Albertus Wiese. Daendels diserahi tugas terutama untuk melindungi pulau Jawa dari serangan tentara Inggris. Jawa adalah satu-satunya daerah koloni Belanda-Perancis yang belum jatuh ke tangan Inggris setelah Isle de France dan Mauritius pada tahun 1807. Namun demikian beberapa kali armada Inggris telah muncul di perairan utara laut Jawa bahkan di dekat Batavia. Pada tahun 1800, armada Inggris telah memblokade Batavia dan menghancurkan galangan kapal Belanda di Pulau Onrust sehingga tidak berfungsi lagi. Pada tahun 1806, armada kecil Inggris di bawah laksamana Pellew muncul di Gresik. Setelah blokade singkat, pimpinan militer Belanda, Von Franquemont memutuskan untuk tidak mau menyerah kepada Pellew.

Ultimatum Pellew untuk mendarat di Surabaya tidak terwujud, tetapi sebelum meninggalkan Jawa Pellew menuntut Belanda agar membongkar semua pertahanan meriam di Gresik dan dikabulkan. Ketika mendengar hal ini, Daendels menyadari bahwa kekuatan Perancis-Belanda yang ada di Jawa tidak akan mampu menghadapi kekuatan armada Inggris. Maka iapun melaksanakan tugasnya dengan segera. Tentara Belanda diisinya dengan orang-orang pribumi, ia membangun rumah sakit-rumah sakit dan tangsi-tangsi militer baru. Di Surabaya ia membangun sebuah pabrik senjata, di Semarang ia membangun pabrik meriam dan di Batavia ia membangun sekolah militer. Kastil di Batavia dihancurkannya dan diganti dengan benteng di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Di Surabaya dibangunnya Benteng Lodewijk. Proyek utamanya, yaitu Jalan Raya Pos, sebenarnya dibangunnya juga karena manfaat militernya, yaitu untuk mengusahakan tentara-tentaranya bergerak dengan cepat.

Terhadap raja-raja di Jawa, ia bertindak keras, tetapi kurang strategis sehingga mereka menyimpan dendam kepadanya. Di mata Daendels, semua raja pribumi harus mengakui raja Belanda sebagai junjungannya dan minta perlindungan kepadanya. Bertolak dari konsep ini, Daendels mengubah jabatan pejabat Belanda di kraton Solo dan kraton Yogya dari residen menjadi minister. Minister tidak lagi bertindak sebagai pejabat Belanda melainkan sebagai wakil raja Belanda dan juga wakilnya di kraton Jawa. Oleh karena itu Daendels membuat peraturan tentang perlakuan raja-raja Jawa kepada para Minister di kratonnya.

Jika di zaman VOC para residen Belanda diperlakukan sama seperti para penguasa daerah yang menghadap raja-raja Jawa, dengan duduk di lantai dan mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada raja Jawa, Minister tidak layak lagi diperlakukan seperti itu. Minister berhak duduk sejajar dengan raja, memakai payung seperti raja, tidak perlu membuka topi atau mempersembahkan sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja dengan berdiri dari tahtanya ketika Minister datang di kraton. Ketika bertemu di tengah jalan dengan raja, Minister tidak perlu turun dari kereta tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta raja.

Meskipun di Surakarta Sunan Paku Buwono IV menerima ketentuan ini, di Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono II tidak mau menerimanya. Daendels harus menggunakan tekanan agar Sultan Yogya bersedia melaksanakan aturan itu.Tetapi dalam hati kedua raja itu tetap tidak terima terhadap perlakuan Daendels ini. Jadi ketika orang-orang Inggris datang, maka mereka bersama-sama dengan para raja "mengkhianati" orang Belanda.
Berbeda dengan apa yang dipercaya orang selama ini, Daendels selama masa pemerintahannya memang memerintahkan pembangunan jalan di Jawa tetapi tidak dilakukan dari Anyer hingga Panarukan. Jalan antara Anyer dan Batavia sudah ada ketika Daendels tiba. Oleh karena itu menurut het Plakaatboek van Nederlandsch Indie jilid 14, Daendels mulai membangun jalan dari Buitenzorg menuju Cisarua dan seterusnya sampai ke Sumedang.

Pembangunan dimulai bulan Mei 1808. Di Sumedang, proyek pembangunan jalan ini terbentur pada kondisi alam yang sulit karena terdiri atas batuan cadas, akibatnya para pekerja menolak melakukan proyek tersebut dan akhirnya pembangunan jalan macet. Akhirnya Pangeran Kornel turun tangan dan langsung menghadap Daendels untuk meminta pengertian atas penolakan para pekerja. Ketika mengetahui hal ini, Daendels memerintahkan komandan pasukan zeni Brigadir Jenderal von Lutzow untuk mengatasinya.
Berkat tembakan artileri, bukit padas berhasil diratakan dan pembangunan diteruskan hingga Karangsambung. Sampai Karangsambung, proyek pembangunan itu dilakukan dengan kerja upah. Para bupati pribumi diperintahkan menyiapkan tenaga kerja dalam jumlah tertentu dan masing-masing setiap hari dibayar 10 sen per orang dan ditambah dengan beras serta jatah garam setiap minggu.

Setibanya di Karangsambung pada bulan Juni 1808, dana tiga puluh ribu gulden yang disediakan Daendels untuk membayar tenaga kerja ini habis dan di luar dugaannya, tidak ada lagi dana untuk membiayai proyek pembangunan jalan tersebut. Ketika Daendels berkunjung ke Semarang pada pertengahan Juli 1808, ia mengundang semua bupati di pantai utara Jawa.

Dalam pertemuan itu Daendels menyampaikan bahwa proyek pembangunan jalan harus diteruskan karena kepentingan mensejahterakan rakyat (H.W. Daendels, Staat van Nederlandsch Indische Bezittingen onder bestuur van Gouverneur Generaal en Marschalk H.W. Daendels 1808-1811, 's Gravenhage, 1814). Para bupati diperintahkan menyediakan tenaga kerja dengan konsekuensi para pekerja ini dibebaskan dari kewajiban kerja bagi para bupati tetapi mencurahkan tenaganya untuk membangun jalan.

Sementara itu para bupati harus menyediakan kebutuhan pangan bagi mereka. Semua proyek ini akan diawasi oleh para prefect yang merupakan kepala daerah pengganti residen VOC. Dari hasil kesepakatan itu, proyek pembangunan jalan diteruskan dari Karangsambung ke Cirebon. Pada bulan Agustus 1808 jalan telah sampai di Pekalongan. Sebenarnya jalan yang menghubungkan Pekalongan hingga Surabaya telah ada, karena pada tahun 1806 Gubernur Pantai Timur Laut Jawa Nicolaas Engelhard telah menggunakannya untuk membawa pasukan Madura dalam rangka menumpas pemberontakan Bagus Rangin di Cirebon (Indische Tijdschrift, 1850). Jadi Daendels hanya melebarkannya. Tetapi ia memang memerintahkan pembukaan jalan dari Surabaya sampai Panarukan sebagai pelabuhan ekspor paling ujung di Jawa Timur saat itu.

Kontroversi terjadi tentang pembangunan jalan ini. Pada masa Daendels banyak pejabat Belanda yang dalam hatinya tidak menyukai Perancis tetapi tetap setia kepada dinasti Oranje yang melarikan diri ke Inggris. Namun mereka tidak bisa berbuat banyak karena penentangan terhadap Daendels berarti pemecatan dan penahanan dirinya. Hal itu menerima beberapa orang pejabat seperti Prediger (Residen Manado), Nicolaas Engelhard (Gubernur Pantai Timur Laut Jawa) dan Nederburgh (bekas pimpinan Hooge Regeering). Mereka yang dipecat ini kemudian kembali ke Eropa dan melalui informasi yang dikirim dari para pejabat lain yang diam-diam menentang Daendels (seperti Peter Engelhard Minister Yogya, F. Waterloo Prefect Cirebon, F. Rothenbuhler, Gubernur Ujung Timur Jawa), mereka menulis keburukan Daendels.

Di antara tulisan mereka terdapat proyek pembangunan jalan raya yang dilakukan dengan kerja rodi dan meminta banyak korban jiwa. Sebenarnya mereka sendiri tidak berada di Jawa ketika proyek pembangunan jalan ini dibuat. Ini terbukti dari penyebutan pembangunan jalan antara Anyer dan Panarukan, padahal Daendels membuatnya dimulai dari Buitenzorg. Sayang sekali arsip-arsip mereka lebih banyak ditemukan dan disimpan di arsip Belanda, sementara data-data yang dilaporkan oleh Daendels atau para pejabat yang setia kepadanya (seperti J.A. van Braam, Minister Surakarta) tidak ditemukan kecuali tersimpan di Perancis karena Daendels melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Napoleon setelah penghapusan Kerajaan Belanda pada tahun 1810.

Sejarawan Indonesia yang banyak mengandalkan informasi dari arsip Belanda ikut berbuat kesalahan dengan menerima kenyataan pembangunan jalan antara Anyer-Panarukan melalui kerja rodi. Kontroversi lain yang menyangkut pembangunan jalan ini adalah tidak pernah disebutkannya manfaat yang diperoleh dari jalan tersebut oleh para sejarawan dan lawan-lawan Daendels. Setelah proyek pembuatan jalan itu selesai, hasil produk kopi dari pedalaman Priangan semakin banyak yang diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu padahal sebelumnya tidak terjadi dan produk itu membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua dan Sukabumi. Begitu juga dengan adanya jalan ini, jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa disingkat menjadi 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat yang oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinas pos.

Di sisi lain dikatakan bahwa Daendels mebuat birokrasi menjadi lebih efisien dan mengurangi korupsi. Tetapi ia sendiri dituduh korupsi dan memperkaya diri sendiri. Akhirnya ia dipanggil pulang oleh Perancis dan kekuasaan harus diserahkan kepada Jan Willem Janssens, seperti diputuskan oleh Napoleon Bonaparte.

Pemanggilan pulang ini dipertimbangkan oleh Napoleon sendiri. Dalam rangka penyerbuan ke Rusia, Napoleon memerlukan seorang jenderal yang handal dan pilihannya jatuh kepada Daendels. Dalam korps tentara kebanggaan Perancis (Grande Armee), ada kesatuan Legiun Asing (Legion Estranger) yang terdiri atas kesatuan bantuan dari raja-raja sekutu Perancis. Di antaranya adalah pasukan dari Duke of Wurtemberg yang terdiri atas tiga divisi (kira-kira 30 ribu tentara). Tentara Wurtemberg ini sangat terkenal sebagai pasukan yang berani, pandai bertempur tetapi sulit dikontrol karena latar belakang mereka sebagai tentara bayaran pada masa sebelum penaklukan oleh Perancis. Napoleon mempercayakan kesatuan ini kepada Daendels dan dianugerahi pangkat Kolonel Jenderal.

Ketika tiba di Paris dari perjalanannya di Batavia, Daendels disambut sendiri oleh Napoleon di istana Tuiliries dengan permadani merah. Di sana ia diberi instruksi untuk memimpin kesatuan Wurtemberg dan terlibat dalam penyerbuan ke Rusia pada tanggal 22 Juni 1812. Sekembali Daendels di Eropa, Daendels kembali bertugas di tentara Perancis. Dia juga ikut tentara Napoleon berperang ke Rusia. Setelah Napoleon dikalahkan di Waterloo dan Belanda merdeka kembali, Daendels menawarkan dirinya kepada Raja Willem I, tetapi Raja Belanda ini tidak terlalu suka terhadap mantan Patriot dan tokoh revolusioner ini. Tetapi biar bagaimanapun juga, pada tahun 1815 ia ditawari pekerjaan menjadi Gubernur-Jendral di Ghana. Ia meninggal dunia di sana akibat malaria pada tanggal 8 Mei 1818.
Sumber : wikipedia

Pansela

Walau pun Jalur Pantai Selatan atau Pansela jarang saya lalui namun tidak ada salahnya untuk mencari tahu informasi tentang jalur ini, berikut adalah sedikit catatan tentang Jalur Pansela yang di rangkum dari beberapa sumber.

Pembangunan Ekonomi Daerah di Pulau Jawa ternyata belum sepenuhnya merata seperti apa yang diharapkan oleh banyak pihak, khususnya pemda masing-masing propinsi, sementara masyarakat yang mendiami kawasan Pantai Utara sudah lebih dulu terbantu perekonomiannya karena dengan pesatnya pembangunan infrastruktur jalan yang dikerjakan oleh pemerintah (Bina Marga) mereka jadi lebih mudah dalam mendistribusikan arus barang dan jasa ke kota-kota disekitarnya.

Bagaimana dengan Jalur Pantai Selatan ? Sejak megaproyek ini selesai dikerjakan oleh sang arsitek jalan pada masa kompeni indekos 3,5 abad di negeri gemah ripah loh jinawi, yakni meneer Deandels perhatiannya menjadi kurang oleh masyarakat yang mendiami kawasan Pantai Selatan dalam mengoptimalisasi aktivitas perekonomian antar daerah, sehingga lambat laun jalur yang dulu dibangun sang meneer jadi mubazir dan banyak yang terputus karena tidak dimanfaatkan secara maksimal.



Sejalan dengan perkembangan jalan, jalur Pantura yang dari tahun ketahun selalu dimanjakan oleh pemerintah agar selalu tampil prima di dalam menampung beban arus lalu-lintas yang selalu meningkat dari tahun ke tahun, rupanya sudah dianggap overload, jurus apapun yang ditempuh para pakar jalan didalam meningkatkan kualitas jalan, baik itu berbasis rigid maupun flexible (aspal) dengan kemampuan tinggi (aspal modified dan polymer), tetap saja tidak mampu menahan beban arus lalu-lintas yang memang tiap tahun selalu meningkat, sehingga yang namanya kerusakan selalu saja terjadi dan ini tidak terhindarkan!

Dengan dasar itulah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Kepala Bapenas Paskah Suzetta tengah menyusun studi untuk mengembangkan kawasan tersebut, setelah sempat terhenti oleh musibah tsunami beberapa waktu lalu akhirnya pemerintah melanjutkan kembali dan hal ini disambut positif oleh forum Gubernur se Jawa dan Bali, yakni : Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta, dan Jawa Timur telah sepakat untuk membuka jalur Selatan ini agar dapat terhubung wilayah satu dan lainnya, sehingga nantinya kehidupan perekonomian masyarakat di wilayah Pantai Selatan ini akan lebih meningkat lagi.

Pengembangan kawasan ini akan dilakukan secara bertahap dan rencananya akan memakan waktu selama 20 tahun, diharapkan dengan adanya proyek Jalur Pansela wilayah-wilayah yang memiliki potensi dalam meningkatkan perekonomian daerahnya seperti di Barat ada Pelabuhan Ratu, Wisata Pantai Pangandaran, di Jawa Tengah ada Pusat Perikanan di Cilacap, kawasan Karst di Kebumen dengan pantai Ayahnya, dan yang lainnya seperti Pantai Samas di Jogjakrta, Ponorogo, Pacitan, Jember Selatan, hingga ke Banyuwangi. Untuk mewujudkan ini sudah tentu pemerintah tidak mengandalkan satu sumber dana pembiayaan saja, yakni APBN, tapi juga diambil dari APBD masing-masing propinsi dan juga dari ADB.



Departemen Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga sebagai Instansi yang berwenang dalam pelaksanaan pekerjaan Jalur Pansela ini, telah memiliki progress pekerjaan pembangunan jalannya, yakni, jalan sepanjang 1.500 km yang membentang mulai dari Cibaliung di Propinsi Banten hingga Banyuwangi di Propinsi Jawa Timur, telah berhasil dibangun jaringan jalan :

1.Propinsi Banten bagian Selatan, sudah bisa ditembus kendaraan sepanjang 128 Km.
2.Propinsi Jawa Barat bagian Selatan, dari 419 Km panjang jalan yang di bangun, tinggal 25 Km yang belum bisa ditembus oleh kendaraan.
3.Propinsi Jawa Tengah, dari 195 Km panjang jalan yang dibangun, masih ada 13 Km panjang jalan lagi yang belum bisa dilewati kendaraan.
4.D.I Jogjakarta, memiliki 157 Km panjang jalan, sedangkan yang belum bisa ditembus kendaraan adalah sepanjang 27, 295 Km.
5.Propinsi Jawa Timur memiliki panjang jalan jalur Selatan 662 Km, sedangkan yang belum bisa dilewati kenadaraan adalah sepanjang 175 Km, dan di Propinsi ini masih perlu membangun 24 buah jembatan penyeberangan.

Bila megaproyek ini telah selesai pembangunannya, maka diharapkan arus ritual mudik yang dilakukan oleh kaum urban pada tiap Lebaran tiba, akan sangat terbantu dengan adanya jalur Pansela ini, ditambah lagi dengan beragamnya pemandangan alam di wilayah Pantai Selatan yang memang rata-rata masih sangat menawan, walau di beberapa Kabupaten pada masing-masing Propinsi secara geografis memang panas dan tandus, seperti di Selatan Jogjakarta, Jember di Jawa Timur.
Sumber : berbagai sumber

Pantura

Di karenakan seringnya melakukan perjalan dari kota Tangerang – Solo maupun sebaliknya dengan menggunakan Transportasi Angkutan Umum sampai seterusnya menggunakan sepeda motor dengan melalui jalur Pantura Atau Jalur Pantai Utara. Wira wiri dari Tangerang – Solo dan sebaliknya bukanlah tanpa alasan karena pada saat itu saya berkegiatan di salah satu Percetakan yang berada di Kartasura – Jawa Tengah, karena seringnya melalui jalur pantura membuat ke ingin tahuan saya akan jalur yang sering di lewati oleh pengguna jalan darat ini terlebih saat menjelang lebaran tiba di mana jalur ini menjadi sangat ramai dan padat bahkan sampai menimbulkan kemacetan yang panjang.

Jalur Pantura (Jalur Pantai Utara) adalah istilah yang digunakan untuk menyebut jalan nasional sepanjang 1.316 km antara Merak hingga Ketapang, Banyuwangi di sepanjang pesisir utara Pulau Jawa, khususnya antara Jakarta dan Surabaya. Jalur ini sebagian besar pertama kali dibuat oleh Daendels yang membangun Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) dari Anyer ke Panarukan pada tahun 1808-an. Tujuan pembangunan Jalan Raya Pos adalah untuk mempertahankan pulau Jawa dari serbuan Inggris. Pada era perang Napoleon, Belanda ditaklukkan oleh Perancis dan dalam keadaan perang dengan Inggris.

Jalur pantura

Jalur Pantura melintasi 5 provinsi: Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Ujung paling barat terdapat Pelabuhan Merak, yang menghubungkannya dengan Pelabuhan Bakauheni di Pulau Sumatra, ujung paling selatan dari Jalan Trans Sumatra. Ujung paling timur terdapat Pelabuhan Ketapang yang menghubungkannya dengan Pelabuhan Gilimanuk di Pulau Bali. Jalur Pantura merupakan jalan yang menghubungkan bagian barat Pulau Jawa dan bagian timurnya.

Jalur Pantura melintasi sejumlah kota-kota besar dan sedang di Jawa, selain Jakarta, antara lain Cilegon, Tangerang, Bekasi, Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Demak, Kudus, Pati, Rembang, Tuban, Surabaya, Pasuruan, Probolinggo, dan Banyuwangi. Selain jalan arteri, terdapat jalan tol di Pantura, yaitu:
•Jalan tol Jakarta-Merak (Banten)
•Jalan tol Jakarta-Cikampek (Karawang)
•Jalan tol Palimanan-Kanci (Cirebon)
•Jalan tol Dalam Kota Semarang
•Jalan tol Surabaya-Gresik
•Jalan tol Surabaya-Gempol (Pasuruan)

Jalur Pantura Pantauan Udara

Jalur ini memiliki signifikansi yang sangat tinggi dan menjadi urat nadi utama transportasi darat, karena setiap hari dilalui 20.000-70.000 kendaraan. Jalur Pantura menjadi perhatian utama saat menjelang Lebaran, bahkan pada saat menjelang Lebaran volume kendaraan dapat meningkat di mana arus mudik melimpah dari barat ke timur.

Arus paling padat tedapat di ruas Jakarta-Cikampek-Cirebon-Tegal-Semarang. Di Cikampek, terdapat percabangan menuju ke Bandung (dan kota-kota di Jawa Barat bagian selatan). Di Tegal, terdapat percabangan menuju ke Purwokerto (dan kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan). Di Semarang, terdapat percabangan menuju ke timur (Surabaya-Banyuwangi) dan menuju ke selatan (Solo-Madiun).

Kepadatan jelang Lebaran
Sumber : Berbagai Sumber