Segala puji bagai Allah S.W.T, Tuhan semesta alam. Salawat dan salam senantiasa tercurah kepada makhluknya yang paling mulia, Muhammad S.A.W, dengan sebaik-baik salawat dan salam, juga kepada keluarga, para sahabatnya dan umatnya hingga di akhir jaman.
Pada kesempatan ini dan pada bulan Ramadhan yang penuh Berkah, Pengampunandan Bulan penuh Rahmat. Mengingat agar kita selalu mengintropeksi diri terhadap amal-amal kita dan memperbaikinya untuk bersiap menghadap Allah S.W.T
Posting kali ini adalah tentang “48 Persoalan Puasa” dan bersumber dari salah satu Blog yang di susun oleh Abu Muhammad Salim Muhammad al-Juhani tidak ada maksud lain dari postingan ini selain agar dapat menjadi bahan untuk menambah pengetahuan serta bahan intropeksi diri selama menjalani Ibadah Puasa di bulan Ramadhan.
Apa yang wajib kita lakukan di bulan Ramadhan?
Bulan Ramadhan memiliki keberkahan yang agung. Allah turunkan pada bulan ini Al-Quran, sebagai petunjuk dan penjelas bagi petunjuk itu serta pembeda. Allah jadikan puasa di bulan ini sebagai salah satu rukun Islam. Shalat malamnya nafilah (ibadah tambahan), penambah kebaikan dan sebab keselamatan dari api neraka.
Di dalam Shahihain dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam bahwa:
"Siapa yang berpuasa Ramadhan dengan iman dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Dan siapa yang melakukan shalat malam pada malam Lailatul Qodr karena iman dan mengharap pahala, diampuni dosa-dosanya yang telah lalu."
Siapa yang puasa dengan iman maksudnya iman kepada Allah Azzawajalla, iman kepada syariat Allah dan menerimanya. Memohon dan mengharap pahala yang telah di atur oleh Allah atas puasa dan shalat malamnya.
Siapa yang melakukan Qiyam Ramadhan atau shalat pada malam Lailatul Qodr dengan terpenuhinya dua sifat di atas iman dan mengharap pahala Allah ampuni dosa-dosanya yang telah lalu.
Jika kita tilik sejarah, sungguh bulan ini memiliki momentum yang agung, membanggakan untuk diceritakan dan memiliki nilai yang berharga.
Momentum pertama: Allah turunkan pada bulan ini Al-Quran, maksudnya fase pertama penurunannya pada bulan ini dan menjadikannya penuh berkah. Pada bulan ini Allah buka kemenangan kaum muslimin di berbagai belahan bumi di timur maupun barat. Kaum muslimin menjadi mulia dan benderanya tegak di setiap tempat.
Tidak terlupakan bagaimana didatangkan mahkota kekaisaran dari berbagai negeri kepada Khalifatur Râsyid, Umar Ibn al-Khatthab radiallahu'anhu di Madinah, yang di angkut oleh 2 ekor unta sebagaimana tersebut di dalam sejarah, dan tidak satu pernik pun yang kurang kala diserahkan. Semua itu menunjukkan kemuliaan kaum muslimin dan kehinaan kaum musyrikin, segala puji bagi Allah.
Kita yakin bahwa umat Islam akan kembali kepada Al-Quran, akan berhukum dengannya dan akan menjadi mulia setelah itu, insyaAllah.
Tetapi pencari madu mestilah tersengat lebah, pemetik mawar mesti tertusuk duri dan kemenangan haruslah didahului oleh ujian bagi siapa yang ingin menegakkan Islam dan berdakwah kepadanya. Allah ta'âla menyebutkan di dalam kitab-Nya:
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu....” (QS. Muhammad: 31)
Firman-Nya pula:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214)
Momentum kedua: pada bulan yang penuh berkah ini terjadi peristiwa Perang Badar. Perang ini terjadi pada tahun ke-2 hijriah. Sebab pertempuran ini adalah Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mendengar bahwa rombongan dagang Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sofyan pulang dari Syam menuju Mekkah. Mendengar itu para sahabat Nabi bersegera keluar untuk memblokade rombongan dagang itu, sebagai reaksi balik atas perbuatan Quraisy yang telah mengeluarkan paksa Nabi dan para sahabatnya dari tempat tinggal mereka di Mekkah. Ketika itu belum ada perjanjian apapun antara mereka dengan Nabi Shalallahu alaihi wasallam. Nabi Shalallahu alaihi wasallam keluar dengan sejumlah kecil sahabat, 300 lebih pasukan karena mereka tidak bermaksud perang, hanya ingin memblokade, dengan membawa 70 ekor unta dan 2 ekor kuda.
Mengetahui hal itu, Abu Sofyan mengirim utusan ke Mekkah agar mengirim bantuan mencegah blokade Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam. Keluarlah penduduk Mekkah dengan persenjataan, keangkuhan dan kesombongan, sebagaimana yang sifati oleh Allah dalam firman-Nya:
"...Keluar dari kampungnya dengan rasa angkuh dan dengan maksud riya' kepada manusia serta menghalangi (orang) dari jalan Allah. Dan (ilmu) Allah meliputi apa yang mereka kerjakan." (QS. Al-Anfal: 47)
Di tengah perjalanan, Quraisy mendapat khabar bahwa Abu Sofyan dan rombongannya berhasil meloloskan diri, sehingga mereka bimbang apakah akan melanjutkan perjalanan atau kembali ke Mekkah. Ketika itu Abu Jahl pimpinan mereka mengatakan:
"Demi Allah, kita tidak akan kembali hingga tiba di Badar (suatu tempat dekat Madinah) dan berdiam di sana 3 hari. Kita sembelih hewan bawaan, menikmati khamar dan berpesta agar Arab mendengar tentang kita dan senantiasa mengenang selamanya."
Kalimat seperti itu menunjukkan kesombongan dan kecongkakan, yakin dengan kebatilannya bahwa dia dapat mengalahkan al-hak. Mereka pun bertemu dengan Nabi Shalallahu alaihi wasalam dengan persenjataan dan kepongahan mereka. Jumlah mereka berkisar 1900 tentara. Sedangkan Nabi Shalallahu alaihi wasalam dan pasukannya hanya 300an. Bertemulah tentara Allah Azzawajalla dengan tentara setan, yang pada akhirnya dimenangkan oleh tentara Allah Azzawajalla. Terbunuh dari Quraisy 70 orang yang keseluruhannya adalah tokoh-tokoh dan tetua mereka, sementara 70 orang lainnya tertawan oleh kaum muslimin. Nabi Shalallahu alaihi wasalam berdiam di medan perang (Badar) selama 3 hari seperti kebiasaannya setelah kemenangan. Pada hari ketiga beliau berdiri di sumur Badar yang di situ dikuburkan 24 tentara Quraisy yang terbunuh secara massal. Beliau pun menyebut nama mereka dan bapak-bapak mereka satu persatu:
"Wahai fulan ibnu fulan, apakah engkau mendapatkan apa yang dijanjikan tuhan kalian itu hak? aku mendapatkan apa yang dijanjikan Tuhan-ku adalah hak."
"Wahai Rasulullah, bagaimana engkau berbicara dengan orang yang telah mati? Tanya para sahabat.
"Tidaklah kalian lebih dapat mendengar perkataanku dari pada mereka, tetapi mereka tidak dapat menjawab." Ungkapan lain "Tidak membalas ucapan."
Kemudian Nabi Shalallahu alaihi wasalam pun kembali ke Madinah dengan kemenangan. Segala puji bagi Allah.
Momentum ketiga: Fathul Mekkah (penaklukan Mekkah). Mekkah di kuasai oleh orang-orang musyrikin yang merusaknya dengan kekufuran, kesyirikan dan kemaksiatan. Allah Subhânahu wata'âla mengizinkan Nabi-Nya Shalallahu alaihi wasallam untuk memerangi penghuninya, dan menghalalkan melakukan peperangan di sana sesaat dari siang itu, kemudian kesuciannya kembali seperti semula setelah penaklukan itu.
Nabi Shalallahu alaihi wasallam menaklukkan Mekkah pada hari Jumat, 20 Ramadhan tahun 8 Hijriah dengan kemenangan, hingga beliau berdiri di pintu Kakbah dan bangsa Quraisy di bawahnya menyaksikan apa yang akan diperlakukan kepada mereka, beliau berkata:
“Wahai Quraisy, apa menurut kalian yang akan aku lakukan terhadap kalian?
“Kebaikan, sebagai saudara kami yang pemurah dan putra saudara kami yang pemurah.” Jawab mereka.
“Pergilah, kalian dibebaskan!” Ucap Nabi.
Nabi pun memberikan kepada mereka hak-hak mereka. Dan inilah puncak akhlak dan maaf.
Setelah memaparkan momen-momen dari bulan ini, saatnya kita tanyakan, apa yang semestinya kita lakukan di bulan Ramadhan?
Yang kita lakukan di bulan yang penuh berkah ini bisa perkara yang wajib bisa pula yang mandub (dianjurkan).
Yang wajib adalah puasa dan yang mandub adalah shalat malam.
Pengertian puasa semua kita mengetahuinya bahwa ia adalah menahan diri dari apa-apa yang membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga tenggelam matahari untuk beribadah kepada Allah.
Dalilnya adalah firman Allah Ta'âla:
"Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.." (QS. Al-Baqarah: 187)
Tujuan dari puasa bukanlah untuk membiasakan diri menahan haus, lapar dan tahan menderita, tetapi untuk melatih jiwa meninggalkan apa-apa yang dicintai demi mengharap keridaan yang dicintai.
Kecintaan yang ditinggalkan adalah makan, minum dan jima (bersetubuh), yang merupakan syahwat jiwa. Sedangkan cinta yang diharapkan keridaannya adalah Allah Azzawajalla. Kita haruslah menghadirkan niat ini, bahwa kita meninggalkan pembatal-pembatal puasa untuk mengharap rida Allah Azzawajalla.
Hikmah dari diwajibkannya puasa kepada umat ini, telah Allah jelaskan di dalam kitab-Nya Allah Subhanahu wata'âla:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Kata لعل dalam ayat di atas untuk ta’lil, maksudnya agar bertakwa kepada Allah sehingga meninggalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan menjalankan apa yang diwajibkan.
Di dalam hadits sahih Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda:
"Siapa yang tidak meninggalkan perkataan keji, perbuatannya dan juga kebodohan, Allah tidak butuh kepada makan dan minum yang ditinggalkannya."
Maksudnya Allah bukan ingin kita meninggalkan makan dan minum, akan tetapi ingin kita meninggalkan perkataan keji dan perbuatannya serta kebodohan. Oleh karena itu disunahkan bagi yang berpuasa jika dicela orang untuk mengatakan "Saya sedang puasa", bukan membalasnya. Karena jika dibalas akan terjadi saling mencela, sehingga puasanya hanya berisi celaan dan hinaan. Jika dia mengatakan "Aku sedang puasa", orang yang mencelanya akan tahu kalau dia tidak membalas bukan karena tidak mampu membalas tetapi puasanyalah yang mencegahnya untuk membalas. Itu mendiamkan lawan dan membuatnya malu sehingga tidak melanjutkan celaannya.
Itulah hikmah diwajibkannya puasa. Karenanya sudah sepatutnya kita berupaya melakukan perbuatan-perbuatan ketaatan, seperti zikir, membaca Al-Quran, shalat, sedekah, berbuat baik kepada sesama, bermuka ceria, lapang dada, berakhlak terpuji serta apapun yang dapat mendidik diri.
Jika seorang muslim konsisten dalam keadaan demikian selama sebulan, niscaya nampak pengaruhnya, dan sebelum usai bulan keadaannya sudah berubah membaik. Karenanya disyariatkan pada akhir bulan untuk mengeluarkan zakat fitrah sebagai penyempurna pembersihan dirinya. Jiwa dapat dibersihkan dengan mengerjakan ketaatan dan meninggalkan perkara haram, juga dibersihkan dengan pengorbanan harta, sehingga pengorbanan harta disebut zakat (pembersih).
Tanya 1
Apa yang dapat membatalkan puasa?
Jawab:
Pembatal puasa yang disebutkan di dalam Al-Quran ada tiga: makan, minum dan jima (bersetubuh). Dalilnya firman Allah Ta'âla:
"Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.." (QS. Al-Baqarah: 187)
Makan dan minum di situ yang halal maupun haram, bermanfaat maupun bermudarat, sedikit maupun banyak. Dari itulah merokok membatalkan puasa, jika bermudarat ia menjadi haram.
Sehingga ulama berkata: jika seseorang menelan satu tetes saja, puasanya batal. Setetes tidaklah memberi manfaat pada tubuh, meskipun demikian termasuk pembatal puasa. Seandainya makan adonan yang tercampur dengan najis puasanya batal plus memudaratkan.
Pembatal ketiga yang disebut dalam Al-Quran jima (bersetubuh). Ini adalah pembatal yang paling kuat karena adanya kafarah, yaitu membebaskan budak, jika tidak memiliki budak dia harus berpuasa 2 bulan berturut-turut, jika puasa tidak mampu, dia harus memberi makan 60 orang miskin.
Keempat: mengeluarkan mani dengan lazzah (rasa nikmat). Jika seseorang mengeluarkannya dengan rasa nikmat batal puasanya. Tetapi tidak membayar kafarah, karena kafarah khusus pada pembatal karena jima (bersetubuh).
Kelima: suntikkan yang menggantikan makan dan minum atau nutrisi. Adapun suntikan yang bukan nutrisi tidaklah merusak puasa, sama saja apakah disuntikkan di pembuluh darah maupun otot, karena bukan termasuk kategori makan dan minum atau yang semakna.
Keenam: muntah dengan sengaja. Jika seseorang sengaja muntah maka puasanya batal. Jika dia dikuasai rasa muntah maka puasanya tidak batal.
Ketujuh: keluar darah haid dan nifas. Jika darah haid keluar sesaat saja sebelum matahari tenggelam, puasanya batal. Jika darahnya keluar sesaat setelah matahari tenggelam, sah puasanya.
Kedelapan: mengeluarkan darah dengan cara hijamah (bekam). Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam:
"Batal puasa orang yang membekam dan yang dibekam."
Jika seseorang dibekam dan darahnya keluar, puasanya batal. Batal pula puasa orang yang membekam jika prosesnya sama dengan cara yang dikenal di masa Rasulullah, yaitu pembekam menyedot darah menggunakan botol darah (dengan mulutnya). Adapun jika dibekam melalui perantaraan alat yang tidak terhubung langsung dengan pembekam, maka yang batal hanya puasa yang dibekam sedangkan pembekam tidak.
Jika pembatal-pembatal di atas terjadi di siang Ramadhan pada orang yang berpuasa, dia tetap wajib imsak, dan ada 4 perkara menyangkut puasanya:
1-Berdosa (kecuali pada haid dan nifas -pent).
2-Puasanya batal .
3-Tetap wajib memuasai hari itu.
4-Wajib mengqodho
Jika batal karena jima (bersetubuh) ada perkara yang ke-5 yaitu kafarah.
Akan tetapi perlu diketahui bahwa pembatal puasa di atas tidaklah membatalkan kecuali memenuhi 3 syarat:
1- ilmu (mengetahui) 2- zikir (ingat) 3- irodah (dengan kehendak)
Jika orang yang puasa melakukan sesuatu dari pembatal di atas dengan kejahilan (bodoh), baik jahil akan waktu, atau jahil akan hukum; contoh jahil dengan waktu seperti seseorang bangun malam dan menyangka bahwa fajar belum terbit sehingga dia pun makan dan minum, tetapi setelahnya baru tahu ternyata fajar telah terbit, yang seperti ini puasanya sah karena dia jahil dengan waktu.
Contoh jahil dengan hukum: seseorang berbekam dan dia tidak tahu kalau berbekam membatalkan puasa, maka kita katakan kepadanya puasamu sah. Dalilnya adalah firman Allah Ta'ala:
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah... (QS.al-Baqarah: 286)
Itu dari al-Quran, adapun dari hadits:
Hadits Asma' Binti Abu Bakar radiallahu'anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari di dalam Sahihnya, dia berkata:
“Kami berbuka pada hari berawan di masa Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam namun kemudian matahari nampak. Ternyata kami berbuka ketika hari masih siang. Kami tidak tahu dan menyangka matahari telah tenggelam. Nabi Shalallahu alaihi wasalam tidak memerintahkan mereka untuk mengqodho.
Jika qodho itu wajib tentu Nabi telah memerintahkannya. Jika Nabi memerintahkannya tentu beritanya telah sampai kepada kita. Namun wajib imsak hingga matahari tenggelam, dan puasanya sah.
Syarat kedua: zikir (ingat), yang kebalikannya lupa. Jika orang yang puasa makan dan minum karena lupa, puasanya sah, sebagaimana firman Allah Ta'âla:
"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah... (QS.al-Baqarah: 286)
Dan sabda Nabi Shalallahu alaihi wasalam yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radiallahu'anhu :
"Siapa yang lupa sedang berpuasa kemudian makan dan minum, hendaknya menyempurnakan puasanya, sesungguhnya Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum."
Syarat ketiga: irodah (kehendak). Jika orang yang berpuasa melakukan hal-hal yang membatalkan puasa tanpa kehendak dan pilihannya, maka puasanya sah. Jika dia berkumur-kumur, kemudian air tiba-tiba tertelan tanpa kehendaknya, puasanya sah.
Jika istri dipaksa oleh suaminya untuk berhubungan badan (di siang Ramadhan) dan tidak mampu mencegahnya, maka puasa istrinya sah. Karena di luar kehendaknya. Dalilnya firman Allah Ta'ala tentang kekafiran karena dipaksa:
"Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa).." (QS. An-Nahl: 106)
Jika orang yang berpuasa dipaksa untuk berbuka atau melakukan sesuatu yang membatalkan tanpa ada kehendak, puasanya sah.
Tanya 2
Apakah dalam Qiyam Ramadhan (tarawih) ada jumlah rakaat tertentu?
Jawab:
Tidak ada jumrah rakaat tertentu yang diwajibkan. Jika seseorang melakukan shalat malam semalam suntuk tidaklah mengapa. Jika melakukan 20 atau 50 rakaat tidaklah mengapa. Akan tetapi jumlah yang lebih utama adalah apa yang dilakukan Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam yaitu 11 rakaat atau 13 rakaat. Umul Mukminin Aisyah radiallahu'anha ditanya, “Bagaimana Nabi Shalallahu alaihi wasalam melakukan shalat Qiyam Ramadhan (tarawih)? Beliau menjawab:
"Tidak lebih dari 11 rakaat."
Akan tetapi wajib dilakukan sesuai dengan tuntunan syari'at, dengan memanjangkan bacaan, rukuk, sujud, bangkit dari rukuk dan sajadatain (duduk antara dua sujud). Tidak seperti yang dilakukan orang-orang sekarang. Mereka melakukannya dengan cepat, menyulitkan makmum untuk melakukan apa yang selayaknya mereka lakukan. Imam adalah pemimpin, dan pemimpin wajib melakukan apa yang paling baik dan bermanfaat. Jika imam hanya peduli bagaimana cara cepat selesai, ini suatu kesalahan.
Semestinya melakukan apa yang dilakukan Nabi Shalallahu alaihi wasalam, dengan memanjangkan berdiri, rukuk, sujud dan duduk sesuai yang diriwayatkan, memperbanyak doa, bacaan Al-Quran, tasbih dan semacamnya.
Tanya 3
Jika seseorang menjadi makmum di belakang imam yang shalatnya lebih dari 11 rakaat, apakah berpaling jika telah menggenapi 11 rakaat?
Jawab:
Sunahnya menyesuaikan imam. Karena jika berpaling sebelum imam usai, dia tidak mendapat ‘pahala shalat semalam suntuk’. Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam bersabda:
"Siapa yang melakukan shalat (tarawih) bersama imam hingga selesai, dicatatkan untuknya pahala shalat semalam suntuk."
Ini untuk memotivasi kita agar menyempurnakan shalat bersama imam sampai selesai.
Para sahabat Radiallahu'anhum menyepakati imam mereka dalam perkara yang berlebih dari yang disyaratkan dalam satu shalat, yaitu manakala Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radiallahu'anhu menyempurnakan shalat di Mina ketika haji, menjadi 4 rakaat, padahal Abu Bakar, Umar, dan Utsman sendiri di awal kekhilafahannya, dan itu berlangsung 8 tahun, melakukan shalat 2 rakaat. Tetapi kemudian Utsman melakukkannya 4 rakaat, dan para sahabatpun mengingkari hal itu. Meskipun demikian, mereka mengikutinya hingga selesai 4 rakaat. Jika ini adalah petunjuk sahabat Nabi, yang hirau dalam mengikuti imam, lalu mengapa sebagian orang jika jumlah rakaat imam melebihi jumlah yang biasa dilakukan yaitu 11 rakaat, berpaling meninggalkan jamaah, sebagaimana yang kita lihat di Masjidil Haram dengan hujah yang disyariatkan hanya 11 rakaat saja?!.
Tanya 4
Sebagian orang masih makan padahal azan kedua yang mengabarkan terbit fajar di bulan Ramadhan sedang dikumandangkan. Bagaimana keabsahan puasa mereka?
Jawab:
Jika muazin mengumandangkan azan fajar dengan yakin, maka wajib imsak bersamaan dengan terdengarnya azan, jangan makan dan minum.
Adapun jika dikumandangkan dengan dzan (dugaan), bukan dengan yakin sebagaimana yang terjadi sekarang ini, dia masih boleh makan dan minum sampai muazin selesai mengumandangkan azan.
Tanya 5
Kebanyakan orang di bulan puasa yang paling jadi perhatian adalah bagaimana memperbanyak makan dan tidur. Sehingga bulan Ramadhan menjadi bulan bermalas-malasan. Sebagaimana pula sebagian mereka bermain di malam hari dan tidur di siang hari. Apa nasihat Syaikh untuk mereka?
Jawab:
Saya melihatnya sebagai penyia-nyiaan, membuang-buang waktu dan harta apabila keinginannya hanya meragamkan jenis makanan, tidur sepanjang siang untuk bergadang pada sesuatu yang tidak bermanfaat. Tidak diragukan dia telah menyia-nyiakan kesempatan berharga, yang mungkin tidak terulang dalam hidupnya. Seseorang yang tangguh adalah dia yang menjalani Ramadhan sebagaimana mestinya; dengan tidur di awal malam, melakukan shalat tarawih, shalat di akhir malam sedapatnya dan tidak berlebihan dalam makan dan minum.
Seyogianya mereka yang memiliki kelebihan harta peduli untuk memberi makan orang yang berpuasa, baik di masjid maupun di tempat lain. Karena siapa yang memberi makan orang berpuasa, mendapatkan pahala yang serupa dengan orang yang berpuasa itu. Jika seseorang memberi makan saudaranya yang puasa, dia mendapat pahala saudara-saudaranya itu. Hendaknya benar-benar memanfaatkan kesempatan bagi yang dikayakan Allah Ta'ala, agar mendapat pahala yang besar.
Tanya 6
Sebagian imam shalat, ketika tarawih memanjangkan bacaannya sedangkan sebagian lagi menjadikannya singkat. Manakah yang benar?
Jawab:
Yang benar tidak berlebihan dan tidak pula amat singkat. Memanjangkan shalat hingga memberatkan makmum dilarang. Ketika sampai berita kepada Nabi Shalallahu alaihi wasalam bahwa Muadz radiallahu'anhu- memanjangkan shalat di kaumnya, beliau Shalallahu alaihi wasalam marah dengan kemarahan yang tidak biasanya beliau ekspresikan ketika menegur. Beliau berkata kepada Muadz Ibn Jabal:
"Apakah engkau seorang pembuat fitnah wahai muadz?!"
Yang semestinya adalah mencukupkan dengan bacaan yang datang dari Nabi atau menambahkannya sedikit, tidak sampai memberatkan makmum.
Tidak diragukan memanjangkan shalat memberatkan dan memenatkan makmum, terlebih lagi bagi mereka yang lemah. Di antara makmum ada orang-orang yang masih memiliki pekerjaan dan tidak ingin meninggalkan jamaah, tetapi untuk tetap bersama imam yang berlama-lama pun berat. Karenanya, nasihat saya kepada para imam, hendaknya berada di pertengahan. Sesekali hendaknya meninggalkan doa (qunut) agar orang awam tidak mengira hal itu wajib dalam shalat witir.
Tanya 7
Sejauh mana kebenaran hadits:
"Orang yang membekam dan yang dibekam puasanya batal."
Jawab:
Hadits ini disahihkan oleh Imam Ahmad rahimahullah juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qoyyim dan muhaqqiq lain. Hadits ini sahih. Jika diamati memang berkesesuaian, karena orang yang dibekam mengeluarkan banyak darah sehingga tubuhnya melemah. Jika tubuh melemah, ia butuh nutrisi. Jika orang yang puasa butuh dibekam, kita katakan:
"Puasamu batal, makan dan minumlah agar kekuatan fisikmu pulih."
Jika tidak perlu berbekam, kita katakan:
"Jangan berbekam jika engkau sedang puasa wajib." Dengan demikian kekuatannya tetap terjaga hingga dapat bertahan sampai waktu berbuka."
Tanya 8
Apa hukum perginya penduduk Jeddah ke Mekkah untuk melaksanakan shalat tarawih?
Jawab:
Tidak mengapa seseorang pergi ke Masjidil Haram untuk melaksanakan shalat tarawih, karena Masjidil Haram termasuk yang boleh diziarahi. Tetapi jika orang itu adalah pekerja atau imam masjid tidak boleh dia meninggalkan pekerjaannya atau keimamannya untuk pergi shalat di Masjidil Haram, karena shalat di Masjidil Haram sunah sedangkankan menunaikan pekerjaan adalah wajib, tidak seharusnya meninggalkan kewajiban hanya karena sunah.
Telah sampai kepadaku berita, bahwa sebagian imam meninggalkan masjidnya dan pergi ke Mekkah untuk beritikaf di Masjidil Haram atau untuk shalat tarawih, ini salah. Menunaikan tugas adalah wajib, sedangkan pergi ke Mekkah untuk shalat tarawih atau itikaf tidak wajib.
Tanya 9
Apa hukumnya mencari dan mengikuti imam yang bacaan shalatnya bagus?
Jawab:
Saya berpendapat tidaklah mengapa. Tetapi yang lebih utama adalah shalat di masjid lingkungannya agar orang-orang berkumpul pada imam di masjidnya dan masjid tidak kosong dari jamaah.
Jangan sampai terjadi penumpukan di masjid yang bacaan imamnya bagus sehingga timbul polemik atau mungkin sesuatu yang tidak menyenangkan. Bisa saja masjid yang banyak dikunjungi orang didatangi oleh mereka yang sengaja mengincar para wanita. Dengan keramaian seperti itu bisa saja menculiknya tanpa diketahui, kecuali setelah memakan waktu.
Karenanya kami berpendapat, tetaplah di masjidnya, karena itu termasuk memakmurkan masjid dan menegakkan jamaah. Berkumpul bersama imam mereka dan selamat dari keramaian dan menyusahkan diri.
Tanya 10
Apakah mengeluarkan darah dalam jumlah banyak menyebabkan puasa batal?
Jawab:
Jika darah yang dikeluarkan berakibat seperti pada bekam, fisik melemah dan membutuhkan nutrisi, maka hukumnya sama seperti hukum hijamah (bekam). Tetapi jika keluar tanpa kehendak, seperti terluka kemudian mengeluarkan banyak darah maka tidaklah mengapa karena terjadi di luar kehendak.
Tanya 11
Apakah shalat tarawih masih dilanjutkan pada lailatul 'Id (malam lebaran)?
Jawab:
Jika hilal Syawal terlihat pada hari ke-30 Ramadhan, maka shalat tarawih maupun QiyamulLail sudah tidak dilaksanakan karena shalat tarawih dan Qiyamullail berjamaah di masjid hanya di lakukan pada bulan Ramadhan. Jika sudah ditetapkan bahwa bulan Ramadhan sudah lewat maka shalat tersebut tidak lagi dilakukan di masjid, orang-orang kembali ke rumahnya.
Tanya 12
Apakah orang yang beritikaf di Masjidil Haram (Mekkah) atau selainnya boleh keluar masjid untuk makan dan minum, dan apakah boleh naik ke lantai atas masjid untuk mendengarkan majelis taklim?
Jawab:
Ya, boleh bagi orang yang beritikaf di Masjidil Haram (Mekkah) atau selainnya keluar masjid untuk makan dan minum jika tidak memungkinkan untuk mendatangkannya ke masjid, karena makan dan minum merupakan suatu keniscayaan sebagaimana buang air dan mandi janabah jika junub.
Naik ke lantai atas masjid tidak mengapa karena perpindahannya hanyalah beberapa langkah lalu kembali masuk ke dalam masjid pada lantai yang lain. Karenanya tidaklah mengapa.
Tanya 13
Seorang melakukan istimna (onani) di siang Ramadhan karena tidak tahu kalau hal itu membatalkan dan dalam keadaan tidak dapat menahan syahwatnya. Bagaimanakah hukumnya?
Jawab:
Puasanya tidak batal, karena sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya bahwa pembatal puasa akan membatalkan jika memenuhi 3 syarat: ilmu, sadar dan berkehendak (sedang dalam kasus ini dia melakukannya karena bodoh).
Akan tetapi saya katakan: bahwa wajib seseorang itu dapat menahan diri untuk tidak melakukan onani, karena hal itu haram, sebagaimana firman Allah Ta'âla:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; sungguh mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mukminun; 5-7)
Dan karena Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda:
"Wahai para pemuda, siapa yang sangkup dari kalian al-ba'ah (memberi nafkah batin) hendaknya menikah, karena ia lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Jika tidak sanggup, hendaknya berpuasa."
Jika istimna (onani) dibolehkan, sungguh Nabi Shalallahu alaihi wasalam sudah akan menganjurkannya, karena hal itu lebih mudah untuk dilakukan dan dapat mengurangi syahwatnya, berbeda dengan puasa yang padanya ada beban. Ketika Nabi Shalallahu alaihi wasalam mengalihkannya kepada puasa, itu menunjukkan bahwa onani tidak dibolehkan.
Tanya 14
Apa hukum orang yang berpuasa tetapi tidak shalat di bulan Ramadhan?
Jawab:
Mereka yang berpuasa tetapi tidak shalat, puasanya tidak bermanfaat baginya, tidak diterima dan tidak melepaskannya dari kewajiban. Bahkan dia tidak termasuk yang terbebani untuk berpuasa, karena orang yang tidak shalat seperti orang yahudi dan Nasrani. Apa pendapatmu mengenai orang Yahudi atau Nasrani yang berpuasa, apakah diterima puasanya?! Tentu tidak. Oleh karena itu kita katakan kepada orang tersebut:
"Bertaubatlah kepada Allah dengan mengerjakan shalat dan berpuasa." Siapa yang bertaubat Allah terima taubatnya.
Tanya 15
Sebagian orang mengatakan, bahwa seluruh bulan tidak dapat diketahui kapan permulaannya dan pengakhirannya melalui rukyat, karenanya sudah seharusnya senantiasa menyempurnakan bilangan hari di bulan Syaban maupun hari di bulan Ramadhan. Bagaimana hukum syariat mengenai perkataan seperti ini?
Jawab:
Pernyataan bahwa bulan tidak dapat diketahui kapan permulaan dan pengakhirannya melalui rukyat tidaklah benar. Bahkan untuk melihat pergantian bulan sangatlah mungkin. Oleh karena itu Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda:
"Jika kalian melihat hilal awal Ramadhan maka berpuasalah, jika engkau melihat hilal awal Syawal maka berbukalah."
Nabi Shalallahu alaihi wasalam tidak mungkin mengaitkan sesuatu kepada yang mustahil. Jika mungkin bagi kita melihat hilal awal bulan Ramadhan, maka sangat mungkin juga kita dapat melihat hilal awal bulan yang lain.
Adapun poin kedua yang ditanyakan, bahwa seharusnya menyempurnakan bilangan Syaban menjadi 30 hari demikian juga pada Ramadhan adalah benar jika langit tertutup dan hilal tidak dapat terlihat karena terhalangi awan, kabut atau semacamnya. Pada saat seperti itu kita menyempurnakan bilangan hari menjadi 30, baru kemudian kita berpuasa, termasuk menyempurnakan bilangan hari Ramadhan menjadi 30 lalu kita berbuka. Demikianlah hadits yang disampaikan Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam bahwa beliau bersabda:
"Berpuasalah jika kalian melihatnya (hilal awal Ramadhan), dan berbukalah jika kalian melihatnya (hilal awal Syawal). Jika langit tertutupi mendung, maka genapilah menjadi 30 hari."
Dalam hadits yang lain:
Sempurnakanlah jumlah hari menjadi 30."
Atas dasar inilah jika pada malam ke-30 Ramadhan orang-orang yang mengamati hilal tidak melihatnya, mereka menyempurnakan bilangan hari Ramadhan menjadi 30 hari.
Tanya 16
Apa cara syar'i yang dijadikan penentu masuknya bulan Ramadhan, apakah boleh bersandar pada perhitungan falak dalam menentukan masuk dan usainya bulan, dan apakah boleh menggunakan tarbil (teropong) untuk melihat hilal?
Jawab:
Cara syar'i dalam menentukan masuknya awal bulan adalah dengan mengamati hilal. Semestinya dilakukan oleh orang yang dapat dipercaya agama dan penglihatannya.
Jika dia melihat hilal, wajib berpuasa dengan persaksiannya jika yang dilihat adalah hilal awal Ramadhan dan berhenti puasa jika yang dilihat adalah hilal awal Syawal.
Tidak boleh berpatokan pada hitungan ilmu falak jika belum melakukan rukyat. Jika rukyat dilakukan berdasarkan tuntunan ilmu falak, rukyatnya dapat dijadikan pegangan, sebagaimana keumuman sabda Nabi Shalallahu alaihi wasalam :
"Jika kalian melihat hilal awal Ramadhan maka berpuasalah, jika engkau melihat hilal awal Syawal maka berbukalah."
Adapun semata hitungan, tidak boleh menjadikannya sandaran untuk beramal.
Mengenai penggunaan teropong, yaitu alat untuk mendekatkan pandangan ke bulan tidaklah mengapa, tetapi tidak harus, karena yang nampak dari hadits adalah berpatokan dengan mata telanjang, tidak dengan yang lain. Jika digunakan oleh orang yang tepercaya, maka persaksiannya bisa diambil dan diamalkan. Orang-orang dahulu menggunakannya ketika naik ke menara-menara pada malam ke-30 Syawal maupun Ramadhan dan mengamati menggunakan alat ini. Bagaimanapun, ketika rukyat telah ditetapkan, dengan wasilah (perantaraan) apapun, wajib beramal berlandaskan pada pengamatan tersebut, sebagaimana keumuman sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam :
"Jika kalian melihat hilal awal Ramadhan maka berpuasalah, jika engkau melihatnya hilal awal Syawal maka berbukalah."
Tanya 17
Apakah kaum muslimin di setiap negara diharuskan untuk berpuasa dengan rukyat yang sama? Bagaimana dengan kaum muslimin yang tinggal di negeri kafir yang tidak memiliki rukyat sar’iyah?
Jawab:
Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu jika salah satu negeri Islam melihat hilal dan ditetapkan sebagai rukyat syar’i, apakah negeri lain harus mengikutinya? Di antara ulama ada yang berpendapat mengharuskan negeri-negeri lain untuk beramal dengan rukyat itu, berdalil dengan keumuman firman Allah Ta'âla:
"...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..." (QS. Al-Baqarah: 185)
Dan sabda Nabi Shalallahu alaihi wasalam:
"Jika kalian melihat hilal awal Ramadhan maka berpuasalah.."
Mereka mengatakan bahwa ungkapannya umum untuk seluruh kaum muslimin.
Sangat dimaklumi jika maksud dari ungkapan ayat dan hadits di atas tidaklah memaksudkan rukyat setiap orang, karena hal itu suatu yang tidak mungkin. Yang dimaksud adalah jika dilihat oleh siapa saja yang persaksiannya dapat diterima. Ini adalah umum di setiap tempat.
Ulama yang lain berpendapat bahwa jika berbeda matla', maka setiap tempat memiliki rukyat sendiri. Jika tidak berbeda maka wajib bagi yang tidak melihatnya untuk beramal dengan rukyat pada matla'nya. Mereka berdalil dengan dalil yang sama dengan pendapat pertama:
Firman Allah Ta'âla:
"...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..." (QS. Al-Baqarah: 185)
Tentu maksudnya bukan setiap orang menyaksikannya sendiri-sendiri. Ini diamalkan di tempat yang sama matla' hilalnya. Bagi yang berbeda matla', ia belumlah melihat secara hakiki maupun hukum jika belum melihatnya secara langsung. Mereka mengatakan: demikian pula yang kami katakan mengenai sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam:
"Jika kalian melihat hilal awal Ramadhan maka berpuasalah, jika engkau melihatnya hilal awal Syawal maka berbukalah."
Siapa yang berada di matla' berbeda dengan matla' orang yang melihat hilal berarti belum melihatnya secara hakikat ataupun hukum.
Mereka mengatakan: 'Perhitungan bulan sama dengan perhitungan hari.' Sebagaimana setiap negeri berbeda dalam penentuan waktu imsak dan ifthar harian, musti berbeda pula pada penentuan imsak dan ifthar bulanan. Sangat dimaklumi bahwa perbedaan hari memiliki pengaruh, dengan kesepakatan kaum muslimin. Siapa yang berada di timur, akan lebih dulu berpuasa sebelum mereka yang berada di barat, demikian juga dalam berbuka.
Jika kita menghukumi perbedaan matla' pada pewaktuan hari, maka seperti itu pula pada pewaktuan bulan.
Tidak mungkin seseorang mengatakan bahwa firman Allah Ta'âla:
"Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam..." (QS. Al-Baqarah: 187)
Dan sabda Nabi Shalallahu alaihi wasalam :
"Jika malam datang dari sini (timur) dan berakhir dari sini (barat) dan matahari tenggelam, maka waktu bagi orang yang puasa telah usai."
Tidak mungkin seorang pun mengatakan bahwa hal ini umum untuk setiap orang di tiap negeri.
Demikian pula kita katakan pada keumuman firman Allah Ta'ala:
"...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..." (QS. Al-Baqarah:
Dan sabda Nabi Shalallahu alaihi wasalam:
"Jika kalian melihat hilal awal Ramadhan maka berpuasalah, jika engkau melihatnya hilal awal Syawal maka berbukalah."
Ungkapan-ungkapan tersebut memiliki kekuatan dari sisi lafal, pengamatan sahih dan kias sahih, yang mengiaskan pewaktuan bulan dengan pewaktuan hari.
Sebagian ulama berpendapat bahwa perkaranya berpulang pada Waliul Amr (pemimpin). Bilamana ia menentukan wajibnya puasa atau berbuka dengan sandaran syar'i maka keputusannya amalkan, agar manusia tidak berselisih dan berbeda dalam satu wilayah. Mereka berdalil dengan keumuman hadits:
"Hari puasa (Ramadhan) adalah hari manusia berpuasa dan hari berbuka adalah hari semua manusia berbuka."
Ada pula pendapat lain yang disebutkan oleh ulama dalam membahas perbedaan pendapat dalam hal ini.
Mengenai pertanyaan kedua, yaitu bagaimana dengan kaum muslimin yang berpuasa di negeri kafir yang tidak memiliki rukyat sar'i?
Sesungguhnya mungkin sekali bagi mereka untuk menetapkan hilal dengan cara syar'i, hal itu dengan memperhatikan hilal awal bulan jika memungkinkan. Jika tidak memungkinkan, maka kami berpendapat dengan pendapat pertama, yaitu bilamana ditetapkan hilal di negeri islam, maka mereka beramal dengan penetapan itu, sama saja apakah mereka melihatnya atau tidak.
Jika kita katakan dengan pendapat kedua, di mana setiap negara memiliki rukyat sendiri pada matla' yang berbeda dan tidak dapat terlihat dari negerinya, maka mereka ikut kepada negeri Islam lain yang terdekat kepada mereka, karena itulah yang paling dapat di lakukan.
Tanya 18
Jika seseorang yakin akan masuknya Ramadhan setelah melihat hilal tetapi tidak dapat menyampaikannya kepada pemerintah, apakah wajib baginya berpuasa?
Jawab:
Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Di antara mereka ada yang mengharuskannya puasa, sebagian lagi ada yang mengatakan tidak mengharuskannya. Berdasarkan pada apakah hilal itu dikatakan hilal jika sudah nampak dan tersebar beritanya di antara manusia, atau hilal itu cukup apa yang terlihat setelah matahari tenggelam, sama saja apakah tersebar di tengah masyarakat atau tidak.
Yang kuat menurut saya, siapa yang melihatnya dengan yakin dan berada di tempat terpencil, di mana tidak ada seorang pun turut serta melihat atau memperhatikan, maka dia harus berpuasa sebagaimana keumuman firman Allah Ta'ala:
"...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu..." (QS. Al-Baqarah: 185)
Dan sabda Nabi Shalallahu alaihi wasallam:
"Jika kalian melihat hilal awal Ramadhan maka berpuasalah.."
Tetapi jika dia tinggal di tengah masyarakatnya dan mempersaksikannya kepada pemerintah tetapi ditolak, dalam hal ini dia berpuasa secara diam-diam agar tidak nampak menyelisihi orang banyak.
Tanya 19
Apakah ada doa khusus dari Nabi Shalallahu alaihi wasallam bagi yang melihat hilal? Dan apakah boleh bagi yang mendengar beritanya berdoa dengan doa itu sekalipun tidak melihatnya?
Jawab:
Ada. Doanya:
[Allahu akbar. Allahumma ahillahu 'alaina bil amni wal iman wassalâmati wal islâm wa taufîqi limâ yuhibbu rabbuna wayardha rabbuna warobbukallah, hilâl khairin wa rusydin]
“Allah Maha Besar. Wahai Allah, tampakkanlah dia dengan aman dan iman, dengan keselamatan dan islam, dengan taufik kepada apa yang engkau cintai dan ridai. Tuhan kami dan Tuhanmu adalah Allah, hilal kebaikan dan pentunjuk.”
Ada dua hadits yang meriwayatkan doa ini dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. Yang nampak adalah bahwa doa ini tidak dibaca kecuali ketika melihatnya. Adapun orang yang mendengarnya dan tidak melihatnya tidak disyariatkan baginya membaca doa ini.
Tanya 20
Jika seseorang tidak mengetahui masuknya Ramadhan kecuali setelah siang, apakah diharuskan imsak pada hari itu, atau mengqodhonya?
Jawab:
Jika seseorang mengetahui masuknya Ramadhan setelah siang, wajib baginya imsak karena hari itu telah ditetapkan sebagai hari Ramadhan sehingga wajib imsak. Tetapi apakah wajib baginya mengqodho hari itu? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama (mayoritas ulama) berpendapat wajib mengqodhonya, karena dia belum berniat pada malam harinya, bahkan telah berlalu sebagian waktu dari hari itu tanpa niat. Nabi Shalallahu alaihi wasallam telah bersabda:
“Sesungguhnya amalan itu tergantung niat. Dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan.”
Sebagian ulama lain berpendapat tidak diharuskan mengqodho karena mereka berbuka karena jahl (bodoh) dan orang yang bodoh beruzur dengan kebodohannya. Akan tetapi qodho lebih hati-hati dan lebih selamat. Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu.”
Itu hanyalah satu hari saja, ringan dan tidak memberatkan, lebih menenangkan jiwa dan menenteramkan hati jika mengqodhonya.
Tanya 21
Apakah kaum muslimin berdosa seluruhnya jika tidak ada seorang pun yang memperhatikan kemunculan hilal Ramadhan, baik permulaannya maupun pengakhirannya?
Jawab:
Tarâ a (mengamati) hilal –baik Ramadhan maupun Syawal- adalah perkara yang berlangsung di masa sahabat radiallahu'anhum sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Umar radiallahu'anhuma:
“Orang-orang mengamati hilal. Aku pun mengabarkan kepada Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bahwa aku melihatnya, sehingga beliau pun berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.”
Tidak diragukan bahwa petunjuk sahabat radiallahu'anhum adalah petunjuk yang sempurna.
Tanya 22
Jika seseorang masuk Islam di pertengahan Ramadhan, apakah dia dituntut untuk memuasai hari-hari sebelumnya?
Jawab:
Dia tidak tertuntut untuk memuasai hari-hari sebelumnya, karena masih kafir ketika itu. Orang kafir tidak tertuntut untuk mengganti amal saleh yang terlewati, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: "Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu..." (QS.al-Anfâl: 38)
Karena, ketika manusia masuk Islam di masa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam, beliau tidak memerintahkan mereka untuk mengganti puasa yang telah terlewat, tidak pula shalat maupun zakat. Tetapi jika dia masuk Islam di tengah hari Ramadhan, apakah diharuskan imsak dan qodha atau imsak saja tanpa qodha atau tidak diharuskan imsak maupun qodha?
Dalam masalah ini ulama berbeda pendapat. Pendapat yang terpilih adalah dia diharuskan imsak tanpa qodha. Diharuskan imsak karena dia telah menjadi orang yang terbebani menjalankan kewajiban. Tidak wajib mengqodha karena sebelumnya dia belum termasuk orang yang terbebani kewajiban. Sama halnya dengan anak kecil yang balig pada pertengahan hari, diharuskan baginya imsak tetapi tidak diharuskan qodha menurut pendapat yang kuat dalam masalah ini.
Tanya 23
Apakah anak yang berumur kurang dari 15 tahun diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana diperintahkan shalat?
Jawab:
Ya, anak kecil yang belum balig diperintahkan untuk berpuasa jika mampu, sebagaimana dahulu sahabat Nabi radiallahu'anhum memerintahkannya kepada anak-anak kecil mereka.
Para ulama telah menyebutkan di dalam nas bahwa waliyyul amr (wali anak) hendaknya memerintahkan anak-anak kecilnya untuk berpuasa dengan tujuan melatih dan membiasakan mereka mempraktekkan ajaran Islam dalam diri mereka hingga menjadi kebanggaan bagi mereka. Tetapi jika hal itu memberatkan atau membahayakan, mereka tidak harus melakukannya.
Saya ingatkan di sini, bahwa sebagian orang tua yang melarang anak-anak mereka berpuasa sebenarnya telah menyelisihi apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi radiallahu'anhum, meskipun dengan dalih kasihan. Hakikat menyayangi anak justru dengan memerintahkan mereka mengerjakan syariat Islam, melatih dan membiasakannya. Tentunya hal ini tidak diragukan merupakan pendidikan yang baik dan pengasuhan yang sempurna.
Telah valid dari Nabi Shalallahu alaihi wasalam, beliau bersabda:
"Sesungguhnya seorang lelaki itu adalah ro'i (pemimpin) bagi keluarganya dan akan ditanya akan orang-orang yang dipimpinnya."
Yang semestinya bagi waliyyul amr yang telah Allah beri tanggung jawab keluarga dan anak-anak untuk takut kepada Allah, dengan memerintahkan mereka apa-apa yang telah Allah perintahkan dari syariat Islam.
Tanya 24
Jika seseorang sembuh dari sakit di pertengahan Ramadhan dari penyakit yang menurut analisa dokter dapat dipulihkan, apakah dia tertuntut untuk mengqodho hari-hari yang terlewati?
Jawab:
Jika seseorang tidak puasa di bulan Ramadhan atau sebagian harinya karena sakit yang kemungkinan sembuhnya kecil menurut kebiasaan atau keterangan dokter yang tepercaya, yang wajib baginya memberi makan setiap hari satu orang miskin. Jika dia telah melakukannya tetapi kemudian qodarullah (dengan takdir Allah) dia sembuh, maka tidak diharuskan memuasai hari-hari yang telah digantinya dengan memberi makan, karena kewajibannya telah tertunaikan ketika memberi makan sebagai ganti puasa.
Jika kewajibannya telah tertunaikan tidak ada kewajiban yang sama setelahnya. Pandangan ini sejalan dengan yang disebutkan oleh para ahli fiqih rahimahullah mengenai seseorang yang tidak mampu melakukan haji karena lemah dan kemungkinan sembuhnya kecil lalu dihajikan orang lain tapi kemudian sembuh dari penyakitnya, tidak harus berhaji lagi.
Tanya 25
Sebagian imam masjid dalam shalat tarawih meniru bacaan imam lain untuk membaguskan suaranya saat membaca al-Quran, apakah amalannya itu disyariatkan dan boleh?
Jawab:
Mengindahkan bacaan al-Quran disyariatkan, Nabi Shalallahu alaihi wasalam memerintahkannya. Suatu malam Nabi Shalallahu alaihi wasalam mendengar bacaan Abu Musa al-Asy'ari dan takjub dengan bacaannya, hingga beliau pun berkata:
"Sungguh engkau telah diberi bagian suara yang merdu dari kemerduan suara keluarga Daud."
Oleh karena itu, jika imam masjid meniru bacaan seseorang yang bagus untuk tujuan memperbaiki bacaan dan suaranya dalam membaca Kibullah azzawajalla pada dasarnya disyariatkan, juga untuk selainnya. Karena hal itu dapat memberi semangat makmum yang shalat di belakangnya dan menjadi sebab hadirnya hati, terhanyut dan memperhatikan bacaan. Keutamaan Allah itu diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya, dan Allah lah pemilik keutamaan yang agung.
Tanya 26
Sebagian imam masjid berusaha melembutkan dan mempengaruhi hati makmum dengan mengubah intonasi suara mereka dalam shalat tarawih dan pada doa qunut. Saya mendengar sebagian orang mengingkari hal ini. Apa pendapat Syaikh dalam hal ini?
Jawab:
Menurut saya, jika masih dalam batasan syar'i tanpa berlebihan tidaklah mengapa. Oleh karena itu Abu Musa al-Asy'ari berkata kepada Nabi Shalallahu alaihi wasalam:
"Jika aku tahu engkau mendengar bacaanku sungguh aku akan mengindahkannya." Maksudnya dilantunkan dan dimerdukan.
Jika sebagian orang mengindahkan bacaannya atau dalam nada yang menyentuh hati, saya melihatnya tidaklah mengapa. Akan tetapi berlebihan dalam hal ini hingga tidak satu ayat pun yang dilalui melainkan melakukannya sebagaimana yang ditanyakan, saya melihatnya sebagai suatu yang berlebihan dan tidak semestinya. Wallahu a'lam.
Tanya 27
Apa nasihat bagi sebagian orang yang tidur sepanjang siang Ramadhan, sebagian mereka shalat berjamaah dan sebagian lagi tidak. Apakah puasa mereka sah?
Jawab:
Puasanya sah dan telah melepaskannya dari kewajiban, akan tetapi sangat kurang (pahalanya) dan menyelisihi maksud pensyariatan puasa. Karena Allah Subhanahu wata'âla berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Nabi Shalallahu alaihi wasalam juga bersabda:
"Siapa yang tidak meninggalkan perkataan zur (keji) dan perbuatannya serta kebodohan, Allah tidak butuh pada makan dan minum yang ditinggalkannya."
Amat dimaklumi bahwa meninggalkan shalat dan meremehkannya bukanlah bentuk takwa azzawajala, tidak pula termasuk meninggalkan perbuatan zur (keji). Hal itu menyelisihi maksud Allah dan rasul-Nya dalam pewajiban puasa. Yang mengherankan, mereka ini tidur sepanjang hari dan bergadang sepanjang malam. Boleh jadi bergadang dalam kesia-siaan yang tidak bermanfaat atau dalam perkara haram yang menimbulkan dosa.
Nasihat saya kepada mereka dan yang semisalnya agar bertakwa kepada Allah azzawajalla dan meminta tolong kepada Allah agar membantunya menunaikan puasa dalam bentuk yang diridai Allah. Agar menyibukkan hari-harinya dengan zikir, membaca Al-Quran, shalat, berbuat baik kepada manusia serta perkara lain yang dituntut oleh syariat Islam. Nabi Shalallahu alaihi wasalam adalah orang yang paling baik. Dan yang terbaik adalah ketika bertemu dengan malaikat Jibril dan mengajarkannya al-Quran. Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam lebih baik dalam berbuat kebaikan dari angin yang berhembus.
Tanya 28
Kita saksikan sebagian kaum muslimin meremehkan shalat sepanjang bulan. Tetapi jika masuk bulan Ramadhan mereka bersegera melakukan shalat dan puasa serta membaca Al-Quran. Bagaimanakah puasa orang-orang yang seperti ini dan apa nasihat Syaikh untuk mereka?
Jawab:
Puasa mereka sah. Karena ditunaikan dan tidak disertai perkara-perkara yang membatalkan, maka puasanya sah. Tetapi nasihat saya kepada mereka hendaklah bertakwa kepada Allah Ta'ala pada diri mereka, beribadah kepada Allah Subhanahu wata'ala dengan apa-apa yang diwajibkan pada setiap waktu dan tempat. Manusia tidak tahu kapan ajalnya datang, mungkin menunggu bulan Ramadhan tetapi tidak mendapatkannya. Allah Subhanahu wata'âla membatasi dalam beribadah kepadanya sampai ajal, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (QS. Al-Hajr: 99)
Maksudnya sampai kepadamu kematian dan itu suatu yang meyakinkan.
Tanya 29
Apakah niat puasa sebulan penuh Ramadhan cukup untuk mewakili niat memuasai setiap harinya?
Jawab:
Amat dimaklumi bila seseorang bangun pada akhir malam dan bersahur, tidak diragukan dia akan berpuasa. Karena setiap orang yang berakal melakukan sesuatu dengan pilihannya, tidak mungkin melakukannya tanpa keinginan. Keinginan itulah niat. Seseorang tidaklah makan pada akhir malam kecuali untuk berpuasa. Jika maksudnya hanya sekedar makan, bukanlah kebiasaannya makan pada waktu seperti itu. Demikian itulah niat.
Pertanyaan seperti ini diperlukan jika seseorang ditakdirkan tidur sebelum matahari tenggelam dan tidak terbangun hingga terbit fajar pada hari berikutnya, dalam kondisi ini dia belum berniat pada malam hari untuk hari berikutnya. Apakah kita katakan: "Puasanya pada hari berikutnya sah karena didasarkan pada niat sebelumnya" atau kita katakan: "Puasanya tidak sah karena belum berniat pada malam harinya."?
Kita katakan: puasanya sah. Pendapat yang kuat bahwa niat puasa Ramadhan pada awal kali sudah cukup, tidak perlu diperbaharui setiap hari, kecuali terdapat sebab yang membolehkannya berbuka di tengah Ramadhan, dalam kondisi ini perlu memperbarui niat untuk menyambung puasanya yang terputus karena telah pernah tidak berpuasa.
Tanya 30
Apa hukum makan dan minum ketika muazin sedang mengumandangkan azan atau sesaat setelah azan, terlebih lagi jika tidak mengetahui batas terbitnya fajar?
Jawab:
Batasan imsak adalah terbitnya fajar, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.." (QS. Al-Baqarah: 187)
Nabi -shalallahu alaihi wasalam- bersabda:
"Makan dan minumlah hingga Ibnu Umi Maktum mengumandangkan azan. Sesungguhnya dia tidak mengumandangkan azan hingga terbit fajar."
Sandarannya adalah terbitnya fajar. Jika muadzin dapat dipercaya dan dia diketahui tidak mengumandangkan azan kecuali fajar telah benar-benar terbit, maka wajib untuk imsak bersamaan dengan terdengar kumandang azannya. Adapun jika hanya mengira-ngira, yang lebih hati-hati adalah imsak ketika mendengar azan. Kecuali jika tinggal di barriah (padang pasir) dan dapat melihat fajar, dia tidak harus imsak sekalipun mendengar azan hingga melihatnya sendiri jika tidak ada penghalang. Karena Allah Ta'âla mengaitkan hukum dengan menjelakan garis putih dan garis hitam fajar, dan Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda pada azan Ibnu Umi Maktum:
"Sesungguhnya dia tidak mengumandangkan azan hingga terbit fajar."
Saya mengingatkan dalam masalah ini mengenai para muazin yang berazan 4 atau 5 menit sebelum fajar dengan sangkaan bahwa hal itu lebih hati-hati dalam berpuasa. Kehati-hatian di sini kami sifati sebagai tanatu' (suatu yang berlebih-lebihan) bukan kehati-hatian yang syar'i. Nabi Shalallahu alaihi wasalam telah bersabda:
"Binasalah orang yang berlebih-lebihan."
Itu adalah kehati-hatian yang tidak sahih, karena merusak waktu shalat. Kebanyakan orang jika mendengar azan langsung mengerjakan shalat. Ketika melaksanakan shalat karena azan yang dikumandangkan sebelum waktu fajar berarti telah melakukan shalat sebelum waktunya. Shalat sebelum masuk waktu tidak sah. Karena itu ia telah berbuat buruk kepada orang yang shalat. Hal itu juga sebenarnya telah mengganggu orang yang puasa karena mencegah orang yang ingin puasa dari makan dan minum yang sebenarnya masih dibolehkan. Sehingga dia telah berbuat kejahatan bagi orang yang puasa dengan mencegah mereka dari apa yang sebenarnya masih halal dan kepada orang shalat sehingga shalat sebelum waktunya yang menyebabkan ketidaksahan shalat mereka.
Kepada para muazin hendaklah bertakwa kepada Allah Azzawajalla dengan mengupayakan yang paling benar sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan sunah.
Tanya 31
Di sebagian negara siangnya lebih panjang dari biasanya, terkadang bisa mencapai 20 jam. Apakah kaum muslimin di negeri itu dituntut untuk memuasai seluruh siang?
Jawab:
Ya, mereka dituntut untuk memuasai seluruh siang, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
"Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.." (QS. Al-Baqarah: 187)
Dan sabda Nabi Shalallahu alaihi wasalam:
"Jika malam datang dari sini dan berakhir di sini lalu matahari tenggelam, maka waktu bagi orang yang puasa telah usai."
Tanya 32
Perusahaan memiliki pekerja non muslim. Apakah boleh melarang mereka untuk makan dan minum di depan pekerja muslim di perusahaan tersebut pada siang Ramadhan?
Jawab:
Pertama: tidak selayaknya seseorang itu mempekerjakan non muslim padahal mungkin untuk mempekerjakan sesama muslim, karena muslim lebih baik dari non muslim. Allah Subhanahu wata'âla berfirman:
"...Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu..." (QS. Al-Baqarah: 221)
Akan tetapi jika terdapat kebutuhan untuk mempekerjakan pekerja non muslim tidaklah mengapa, sebatas kebutuhan.
Mengenai makan dan minum mereka di hadapan kaum muslimin di siang Ramadhan tidaklah mengapa, karena kaum muslimin yang berpuasa berterima kasih memuji Allah Azzawajalla telah diberi hidayah memeluk Islam yang padanyalah kebahagiaan dunia dan akhirat, memuji Allah Ta'ala telah diberi keafiatan dari apa yang dibalakan kepada mereka yang belum diberi hidayah Allah Azzawajalla. Karenanya sekalipun diharamkan bagi mereka makan dan minum di dunia secara syariat pada bulan Ramadhan, sesungguhnya dia akan memperoleh balasan pada hari kiamat ketika dikatakan kepada mereka:
"(Kepada mereka dikatakan): "Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu". (QS. Al-Hâqah: 24)
Akan tetapi non muslim dilarang makan dan minum di tempat umum karena hal itu bertolak belakang dengan nuansa Islam di negeri mereka.
Tanya 33
Apakah ghibah (bergunjing) dan namimah (adu domba) di siang Ramadhan membatalkan puasa ?
Jawab:
Ghibah (bergunjing) dan namimah (adu domba) tidak membatalkan puasa, akan tetapi mengurangi pahala puasa. Allah Ta'ala berfirman:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Dan sabda Nabi Shalallahu alaihi wasalam :
"Siapa yang tidak meninggalkan perkataan zur (keji) dan perbuatannya serta kebodohan, Allah tidak butuh pada makan dan minum yang ditinggalkannya."
Tanya 34
Jika melihat orang yang sedang puasa makan dan minum karena lupa, apakah mengingatkannya?
Jawab:
Siapa yang melihat orang yang puasa makan dan minum di siang Ramadhan wajib mengingatkannya, sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam ketika lupa dalam shalatnya:
"Jika aku lupa maka ingatkanlah aku."
Orang yang lupa diuzuri karena kelupaannya, tetapi orang yang tahu saudaranya melakukan pembatal puasa dan tidak mengingatkannya telah berbuat lalai, karena orang itu adalah saudaranya, wajib mencintainya sebagaimana mencintai dirinya sendiri.
Kesimpulannya, jika melihat orang yang sedang puasa makan dan minum di siang Ramadhan karena lupa hendaknya diingatkan. Bagi yang diingatkan hendaknya berhenti seketika itu juga, tidak boleh melanjutkan makan dan minumnya. Bahkan jika di mulutnya masih ada air atau sesuatu dari makanan wajib mengeluarkannya. Tidak boleh menelannya setelah ingat atau diingatkan.
Pada kesempatan ini saya ingin menjelaskan bahwa pembatal-pembatal puasa tidaklah membatalkan dalam 3 keadaan:
-jika lupa
-jika jahil
-jika tanpa maksud
Jika lupa kemudian makan dan minum, maka puasanya sah, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihi wasalam:
"Siapa yang lupa padahal dia sedang berpuasa kemudian makan dan minum, hendaknya menyempurnakan puasanya, sesungguhnya Allah lah yang memberinya makan dan minum."
Jika makan dan minum dengan sangkaan fajar belum terbit, atau menyangka bahwa matahari telah tenggelam, tapi ternyata kenyataannya tidak seperti dugaannya, maka puasanya sah, sebagaimana hadits Asma binti Abu Bakar radiallahu'anha, dia berkata:
“Kami berbuka pada masa Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam ketika hari berawan, kemudian terlihat matahari. Nabi Shalallahu alaihi wasalam tidak memerintahkan untuk mengqodha."
Seandainya qodho itu wajib niscaya Nabi telah memerintahkannya. Seandainya memerintahkan tentu beritanya telah sampai kepada kita, karena perintahnya menjadi syari'at Allah, dan syariat Allah harus terjaga hingga hari kiamat.
Demikian halnya jika tidak bermaksud membatalkan puasa, maka puasanya tidaklah batal. Seperti orang yang kumur-kumur kemudian air masuk ketenggorokkannya (tertelan), puasanya tidak batal karena dia tidak memaksudkannya.
Juga seperti orang puasa yang mimpi basah, puasanya tidak batal, karena orang yang tidur tidak memaksudkannya. Allah Azzawajalla berfirman:
"...Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang..." (QS. Al-Ahzâb: 5)
Tanya 35
Apakah mengkhatamkan (menamatkan) bacaan al-Quran bagi orang yang puasa Ramadhan wajib?
Jawab:
Mengkhatamkan Al-Quran bagi yang berpuasa Ramadhan bukanlah perkara wajib. Akan tetapi hendaknya memperbanyak bacaan Al-Quran di bulan Ramadhan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam. Nabi Shalallahu alaihi wasalam dahulu diajarkan Al-Quran oleh malaikat Jibril setiap bulan Ramadhan.
Tanya 36
Apa hukum shalat tarawih dan berapa rakaat sunahnya?
Jawab:
Shalat tarawih hukumnya sunah, yang disunahkan Rasulullah kepada umatnya. Beliau pernah shalat bersama para sahabatnya selama 3 malam, tetapi setelah itu beliau meninggalkannya, khawatir akan menjadi wajib. Demikianlah keadaan kaum muslimin di masa Abu Bakar dan pertengahan kekhilafahan Umar. Setelah itu Amirul Mukminin, Umar radiallahu'anhu mengumpulkan mereka dalam satu imam shalat, Tamim ad-Dâri maupun Ubai Ibnu Ka'ab, hingga pelaksanaannya berlangsung secara berjamaah sampai hari ini. Segala puji bagi Allah. Ia merupakan sunah di bulan Ramadhan.
Jumlah rakaatnya 11 rakaat atau 13 rakaat. Inilah sunah dalam hal ini. Akan tetapi jika ditambah lebih dari itu tidaklah mengapa, karena hal itu diriwayatkan pula oleh salaf, yang melebihkan atau kurang dari itu, mereka tidak saling mengingkari. Siapa yang lebih rakaatnya tidak diingkari, siapa yang mencukupkan dengan jumlah yang diriwayatkan itu lebih utama. Sunah telah menunjukkan bahwa tidaklah mengapa melebihkan jumlah rakaat, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan selainnya dari hadits Ibnu Umar radiallahu'anhuma bahwa seseorang bertanya kepada Nabi Shalallahu alaihi wasalam mengenai shalat malam, Nabi bersabda:
"Dua rakaat dua rakaat, jika salah seorang di antara kalian khawatir masuk waktu subuh shalatlah satu rakaat mewitirkan apa yang telah dishalatinya."
Nabi Shalallahu alaihi wasalam tidak membatasi jumlah rakaatnya. Yang terpenting dalam shalat tarawih adalah khusyuk dan tumakninah (tenang) ketika rukuk, sujud, bangkit dari rukuk maupun sujud dan tidak melakukan apa yang telah dilakukan orang-orang yang terburu-buru dan cepat, sehingga mencegah orang yang shalat untuk melakukan apa yang disunahkan. Bahkan bisa jadi mencegah mereka melakukan apa yang seharusnya dijaga, hanya untuk keluar dari masjid lebih awal supaya banyak yang datang. Ini menyelisihi syariat.
Wajib bagi imam bertakwa kepada Allah terhadap makmum di belakangnya, janganlah memanjangkan sehingga menjadi beban dan keluar dari sunah. Jangan juga terlalu meringankannya sehingga meninggalkan apa yang wajib atau sunah untuk dilakukan oleh jamaah di belakangnya. Oleh karena itu para ulama berkata:
"Dimakruhkan (dibenci) imam yang menyepatkan shalatnya sehingga mencegah makmum mengerjakan sunah."
Lalu bagaimana dengan mempercepat shalat sehingga mencegah makmum melakukan yang wajib?! Kecepatan seperti itu adalah haram bagi imam.
Kita meminta kepada Allah keistiqomahan dan keselamatan.
Tanya 37
Apa hukumnya menggabungkan shalat tarawih dan witir dalam satu salam?
Jawab:
Perbuatan itu merusak shalat, karena Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda:
"Shalat malam dua rakaat dua rakaat."
Jika digabungkan dalam satu salam, berarti tidak dua rakaat dua rakaat dan telah menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam.
Nabi Shalallahu alaihi wasalam telah bersaba:
"Siapa yang mengerjakan amalan yang bukan dari agama kami maka dia tertolak."
Imam Ahmad rahimahullah pun menaskan:
"Siapa yang berdiri pada rakaat ketiga pada shalat malam seolah dia berdiri pada rakaat ketiga ketika shalat subuh."
Maksudnya jika dia melanjutkannya setelah sadar maka shalatnya batal seperti orang yang menambah rakaat ketiga pada shalat subuh. Oleh karenanya, diharuskan jika sudah berdiri pada rakaat ketiga dalam shalat tarawih karena lupa untuk kembali duduk dan melakukan tasyahud kemudian sujud sahwi setelah salam. Jika dia tidak melakukannya maka shalatnya batal.
Dalam hal ini terdapat masalah, yaitu sebagian orang memahami hadits Aisyah radiallahu'anha ketika ditanya bagaimana shalat Nabi Shalallahu alaihi wasalam dibulan Ramadhan? Beliau menjawab:
"Tidaklah Nabi shalat ketika Ramadhan maupun selainnya melebihi 11 rakaat; shalat empat rakaat, jangan ditanya bagus dan panjangnya, kemudian shalat empat rakaat, jangan tanya bagus dan panjangnya, kemudian shalat 3 rakaat."
Menyangka bahwa empat rakaat pertama dan kedua masing-masing satu salam dan rakaat ketiga yang tersisa dengan satu salam.
Hadits di atas memang dapat dipahami demikian, tetapi maksudnya melakukan empat rakaat dengan dua salam kemudian duduk istirahat mengembalikan tenaga, kemudian empat rakaat berikutnya juga dengan dua salam, dan inilah kemungkinan yang paling dekat, yaitu 'shalat dua rakaat dua rakaat'. Setelah empat rakaat pertama duduk istirahat dan menyiapkan tenaga, setelah empat rakaat kedua dengan dua salam pun duduk istirahat.
Hal ini dikuatkan oleh sabda Nabi Shalallahu alaihi wasalam:
"Shalat malam dua rakaat dua rakaat."
Dengan demikian kita menggabungkan antara ucapan dan perbuatan Nabi Shalallahu alaihi wasalam. Ada kemungkinan shalat empat rakaat dengan satu salam tetapi ini lemah sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda:
"Shalat malam dua rakaat dua rakaat."
Adapun witir, jika witir dengan tiga rakaat, maka ada dua cara; cara pertama salam setelah dua rakaat kemudian mengerjakan rakaat yang ketiga. Cara kedua mengerjakan tiga rakaat langsung dengan satu salam dan satu tasyahud.
Tanya 38:
Apa pandangan Syaikh mengenai mereka yang berpendapat bahwa bacaan khatam Al-Quran dalam shalat tarawih merupakan bid'ah yang diada-adakan?
Jawab:
Saya tidak mengetahui dasar yang sahih mengenai doa khatam Al-Quran dalam shalat yang didasarkan dari sunah Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam tidak pula amalan sahabat radiallahu'anhum. Isyaratnya ada pada apa yang di lakukan Anas Ibn Malik radiallahu'anhu, jika selesai (khatam) membaca Al-Quran beliau mengumpulkan keluarganya dan menjamu mereka, akan tetapi hal ini tidak dilakukan di dalam shalat.
Shalat sebagaimana yang dimaklumi tidaklah disyariatkan mengadakan doa di tempat yang tidak terdapat sunah di dalamnya sebagaimana sabda Nabi Shalallahu alaihi wasalam:
"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat."
Adapun menamakan bacaan khatam Al-Quran di dalam shalat dengan bid'ah saya tidak suka mengatakannya seperti itu, karena ulama sunah berbeda pendapat tentangnya. Tidak semestinya kasar terhadap apa yang sebagian ulama menganggapnya mustahabbah (disukai), meskipun yang utama bagi seorang itu adalah betul-betul berupaya mengikuti sunah.
Dalam hal ini ada problema yang dilakukan oleh saudara-saudara kita yang konsisten menerapkan sunah, yaitu manakala mereka shalat di belakang imam yang membaca doa khatam Al-Quran di rakaat terakhir, mereka keluar dan meninggalkan jamaah dengan dalih khatam Al-Quran bid'ah. Perbuatan seperti itu tidak semestinya dilakukan karena akan menyebabkan perselisihan hati dan saling menjauhi, karena khilaf seperti itu tidak terjadi di antara imam mazhab. Imam Ahmad rahimahullah tidak berpendapat istihbab (disukainya) qunut subuh. Meskipun demikian, beliau berkata:
"Jika seseorang mengimamimu dengan berqunut dalam shalat subuh maka ikutilah dia dan hendaknya mengamini doanya."
Poin masalahnya, sebagian saudara kita yang komit untuk mengikuti sunah dalam jumlah rakaat tarawih, jika shalat di belakang imam yang shalatnya lebih dari 11 atau 13 rakaat keluar dari jamaah jika melebihi jumlah tersebut, ini sesuatu yang semestinya tidak perlu terjadi dan menyelisihi perbuatan sahabat. Ketika Utsman Ibn Affân radiallahu'anhu menyempurnakan shalat empat rakaat di Mina para sahabat radiallahu'anhum mengingkarinya, meskipun demikian mereka tetap shalat bersamanya hingga selesai.
Dimaklumi bahwa melakukan shalat empat rakaat saat dibolehkan mengqoshor lebih menyelisihi sunah dari pada menambah jumlah rakaat lebih dari 13 pada shalat tarawih. Meskipun demikian para sahabat tidak meninggalkan Utsman dan tetap shalat bersamanya. Sudah pasti para sahabat lebih peduli dari pada kita dalam mengikuti sunah, lebih benar pendapatnya dan lebih berpegang pada sunah seperti yang dituntunkan syariat Islam.
Kita meminta kepada Allah agar menjadikan kita semua termasuk yang mengetahui kebenaran dan mengikutinya, mengetahui kebatilan dan menghindarinya.
Tanya 39
Sudah menjadi kebiasaan sebagian kaum muslimin menyifati malam 27 Ramadhan sebagai malam Lailatul Qodr. Apakah penetapan ini ada asalnya, dan apakah ada dalil atas hal itu?
Jawab:
Benar, penetapan tersebut ada dalil, yaitu bahwa malam 27 diharapkan merupakan malam Lailatul Qodr, sebagaimana yang terdapat dalam sahih Muslim dari hadits Ubai Ibn Ka'ab radiallahu'anhu. Akan tetapi pendapat yang kuat dari perkataan para ulama yang mencapai lebih dari 40 pendapat bahwa malam lailatul Qodr terdapat pada 10 hari terakhir, terlebih lagi pada 7 hari terakhir. Bisa hari ke-27 bisa juga 25, 23, 29, 28, 26, atau 24.
Oleh karena itu seyogianya seseorang bersungguh-sungguh pada setiap malamnya agar tidak di haramkan mendapatkan keutamaan dan pahalanya. Allah Ta'ala berfirman:
"Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan." (QS. Ad-Dukhân: 3)
Dan firman-Nya:
"Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan (Lailatul Qodr). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan (Lailatul Qodr) itu? malam kemuliaan (Lailatul Qodr) itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al-Qodr: 1-5)
Tanya 40
Jika puasa memberatkan wanita yang sedang menyusui, apakah dia boleh tidak berpuasa?
Jawab:
Ya, dia boleh tidak berpuasa jika puasa memberatkannya atau jika khawatir terhadap anak yang disusuinya. Dalam keadaan seperti ini dia boleh tidak berpuasa dan mengqodho hari-hari yang tidak dipuasainya.
Tanya 41
Di apotek terdapat spray bagi penderita sesak nafas. Apakah boleh menggunakannya di siang Ramadhan?
Jawab:
Penggunaan spray dibolehkan bagi orang yang berpuasa, sama saja apakah dia sedang berpuasa Ramadhan atau selainnya, karena spray tidaklah sampai ke lambung, hanya sampai pada qosba al-hawaiah (saluran pernafasan) yang membuka saluran khusus tersebut sehingga dapat bernafas dengan normal. Dia tidak semakna dengan makan dan minum tidak ada pula ada unsur makanan atau minuman yang sampai ke lambung.
Amat dimaklumi bahwa pada asalnya puasa itu sah hingga ada dalil yang menunjukkan akan batalnya puasa dari Al-Quran, sunah, Ijma atau Qiyas Sahih.
Tanya 42
Apa hukumnya menggunakan odol gigi bagi orang yang berpuasa di siang hari?
Jawab:
Penggunaan odol bagi orang yang puasa Ramadhan atau selainya tidak mengapa selama tidak masuk ke dalam lambung/perut. Akan tetapi yang lebih baik adalah tidak menggunakannya karena ia memiliki zat yang kuat yang bisa masuk ke dalam perut tanpa disadari. Oleh karena itu Nabi Shalallahu alaihi wasalam berkata kepada Laqith Ibn Shabrah:
"Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyak (memasukkan air ke dalam hidung) kecuali engkau sedang berpuasa."
Yang lebih utama adalah hendaknya tidak menggunakan odol. Masalahnya lapang, jika di akhirkan hingga waktu berbuka berarti telah menghindari perkara yang dikhawatirkan akan merusak puasanya.
Tanya 43
Benarkah berkumur tidak disyariatkan bagi orang yang puasa di siang Ramadhan?
Jawab:
Itu tidak benar. Berkumur ketika wudhu adalah salah satu kewajiban wudhu, sama saja di siang Ramadhan atau selainnya, berpuasa maupun tidak. Sebagaimana keumuman firman Allah Ta'ala :
"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu..." (QS. Al-Maidah: 6)
Akan tetapi tidak semestinya berlebih-lebihan ketika berkumur atau istinsak (memasukkan air ke dalam hidung) di saat puasa. Sebagaimana hadits Laqîth Ibn Shabrah bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasalam berkata kepadanya:
"Sempurnakan wudhu, sela-selalah jari dan bersungguh-sungguhlah ketika istinsyak (memasukkan air ke dalam hidung), kecuali engkau sendang puasa."
Tanya 44
Apakah orang yang berpuasa batal puasanya jika disuntik pada pembuluh darahnya?
Jawab:
Orang yang puasa tidak batal puasanya karena disuntik di pembuluh atau di bagian lain. Kecuali suntikan itu menduduki kedudukan makanan di mana suntikan tersebut menggantikan makan dan minum seseorang. Adapun jika tidak seperti itu tidaklah membatalkan sama sekali, sama saja disuntikkan di pembuluh atau bagian lain. Karena suntikan tersebut bukan makan atau minuman, tidak pula semakna makan dan minum. Karenanya tidak benar kalau ia sehukum dengan makan dam minum.
Tanya 45
Apakah mengambil darah dengan tujuan cek atau donor di siang Ramadhan membatalkan puasa?
Jawab:
Jika seseorang mengambil sedikit darahnya tidaklah membuat tubuhnya lemah, sehingga tidak membatalkan, sama saja untuk pengecekan atau donor bagi yang membutuhkan.
Adapun mengambil darah dalam jumlah banyak yang membuat tubuh menjadi lemas, maka hal itu membatalkan, mengkiaskan dengan bekam yang valid dalam sunah bahwa ia membatalkan puasa.
Bersandar atas hal ini, tidak boleh seseorang mendonorkan darahnya dalam jumlah besar saat puasa wajib, seperti Ramadhan, kecuali dalam situasi darurat. Dalam keadaan darurat boleh berdonor untuk kedaruratan itu, yang artinya puasanya sengaja dibatalkan dan dia boleh makan dan minum pada sisa hari itu dan menggantinya pada hari lain.
Tanya 46
Apa hukumnya menggunakan siwak bagi orang yang puasa setelah matahari tergelincir?
Jawab:
Penggunaan siwak bagi orang yang puasa sebelum matahari tergelincir dan setelahnya merupakan sunah sebagaimana pada waktu-waktu yang lain. Karena hadits-hadits penggunaan siwak umum tanpa ada pengecualian, sebelum atau setelah matahari tergelincir.
Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda:
"Siwak menyucikan mulut dan disukai Allah..."
Sabdanya Shalallahu alaihi wasalam yang lain:
"Seandainya aku tidak khawatir akan memberatkan umatku, niscaya aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan shalat."
Tanya 47
Apa nasihat Syaikh hafizakumullah kepada sebagian imam masjid yang meninggalkan masjid mereka di bulan Ramadhan pergi ke Mekkah untuk umrah dan shalat di Masjidil Haram selama bulan ini?
Jawab:
Nasihat kami untuk mereka adalah agar tetap di masjid mereka agar manusia berkumpul di masjidnya. Mengerjakan kewajiban yang diamanahkan negara lebih utama dari pada pergi ke Mekkah untuk berdiam dan shalat di sana. Nabi Shalallahu alaihi wasalam tidak menyebut perjalanan ke Mekkah selain untuk umrah, sabda beliau:
"Umrah pada bulan Ramadhan menyamai haji."
Nabi Shalallahu alaihi wasalam tidak mengatakan tinggal di sana, meskipun berdiam di Mekkah tentu lebih utama dari berdiam di tempat lain, itu pun bagi yang tidak memiliki ikatan pekerjaan. Bagi yang memiliki ikatan wajib menjalankannya. Nasihat saya untuk mereka, jika hendak melaksanakan umrah silahkan, tetapi segera kembali untuk menjalankan kewajibannya terhadap saudara-saudaranya muslim dan pemerintah.
Tanya 48
Sebagian orang meyakini bahwa umrah di bulan Ramadhan adalah suatu yang wajib bagi setiap muslim walaupun sekali seumur hidup. Apakah ini benar?
Jawab:
Umrah diwajibkan sekali seumur hidup, tidak lebih dari itu. Sedangkan umrah di bulan Ramadhan hanyalah dianjurkan (bukan wajib), karena Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda:
"Umrah pada bulan Ramadhan menyamai haji."
Kami meminta kepada Allah Ta'ala- agar memberikan saudara-saudara kami, kaum muslimin taufik kepada apa yang dicintai dan diridai-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
Salawat dan salam tercurah atas Nabi kita, Muhammad, keluarga dan pada seluruh sahabatnya.
Sumber:www.shiar-islam.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar